Senin, 14 Juni 2010

Cobalah memberi maka kau akan di beri.

Pada suatu hari seorang pria melihat seorang wanita lanjut usia sedang berdiri kebingungan di pinggir jalan. Meskipun hari agak gelap, pria itu dapat melihat bahwa sang nyonya sedang membutuhkan pertolongan. Maka pria itu menghentikan mobilnya di depan mobil Merecdes Benz wanita itu dan keluar menghampirinya. Mobil Pontiac-nya masih menyala ketika pria itu mendekati sang nyonya.

Meskipun pria itu tersenyum, wanita itu masih ketakutan. Tak ada seorangpun berhenti untuk menolongnya selama beberapa jam ini. Apakah pria ini akan melukainya? Pria itu kelihatan tak baik. Ia kelihatan miskin dan kelaparan.

Sang pria dapat melihat bahwa wanita itu ketakutan, sementara berdiri di Sana kedinginan. Ia mengetahui bagaimana perasaan wanita itu. Ketakutan itu membuat sang nyonya tambah kedinginan. Kata pria itu, “Saya di sini untuk menolong anda, Nyonya. Masuk ke dalam mobil saja supaya anda merasa hangat! Ngomong-ngomong, nama saya Bryan Anderson.”

Wah, sebenarn ya ia hanya mengalami ban kempes, namun bagi wanita lanjut seperti dia, kejadian itu cukup buruk. Bryan merangkak ke bawah bagian mobil, mencari tempat untuk memasang dongkrak. Selama mendongkrak itu beberapa kali jari-jarinya membentur tanah. Segera ia dapat mengganti ban itu. Namun akibatnya ia jadi kotor dan tangannya terluka. Ketika pria itu mengencangkan baut-baut roda ban, wanita itu menurunkan kaca mobilnya dan mencoba ngobrol dengan pria itu. Ia mengatakan kepada pria itu bahwa ia berasal dari St. Louis dan hanya sedang lewat di jalan ini..

Ia sangat berutang budi atas pertolongan pria itu. Bryan hanya tersenyum ketika ia menutup bagasi mobil wanita itu.. Sang nyonya menanyakan berapa yang harus ia bayar sebagai ungkapan terima kasihnya. Berapapun jumlahnya tidak menjadi masalah bagi wanita kaya itu.

Ia sudah membayangkan semua hal mengerikan yang mungkin terjadi seandainya pria itu tak menolongnya. Bryan tak pernah berpikir untuk mendapat bayaran. Ia menolong orang lain tanpa pamrih. Ia biasa menolong orang yang dalam kesulitan, dan Tuhan mengetahui bahwa banyak orang telah menolong dirinya pada waktu yang lalu. Ia biasa menjalani kehidupan seperti itu, dan tidak pernah ia berbuat hal sebaliknya.

Pria itu mengatakan kepada sang nyonya bahwa seandainya ia ingin membalas kebaikannya, pada waktu berikutnya wanita itu melihat seseorang yang memerlukan bantuan, ia dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang itu, dan Bryan menambahkan, “Dan ingatlah kepada saya.”

Bryan menunggu sampai wanita itu menyalakan mobilnya dan berlalu. Hari itu dingin dan membuat orang depresi, namun pria itu merasa nyaman ketika ia pulang ke rumah, menembus kegelapan senja.

Beberapa kilometer dari tempat itu sang nyonya melihat sebuah kafe kecil. Ia turun dari mobilnya untuk sekedar mencari makanan kecil, dan menghangatkan badan sebelum pulang ke rumah. Restoran itu nampak agak kotor. Di luar kafe itu ada dua pompa bensin yang sudah tua. Pemandangan di sekitar tempat itu sangat asing baginya.

Sang pelayan mendatangi wanita itu dan membawakan handuk bersih untuk mengelap rambut wanita itu yang basah. Pelayan itu tersenyum manis meskipun ia tak dapat menyembunyikan kelelahannya berdiri sepanjang hari. Sang nyonya melihat bahwa pelayan wanita itu sedang hamil hampir delapan bulan, namun pelayan itu tak membiarkan keadaan dirinya mempengaruhi sikap pelayanannya kepada para pelanggan restoran.

Wanita lanjut itu heran bagaimana pelayan yang tidak punya apa-apa ini dapat memberikan suatu pelayanan yang baik kepada orang asing seperti dirinya. Dan wanita lanjut itu ingat kepada Bryan.

Setelah wanita itu menyelesaikan makanannya, ia membayar dengan uang kertas $100. Pelayan wanita itu dengan cepat pergi untuk memberi uang kembalian kepada wanita itu.. Ketika kembali ke mejanya, sayang sekali wanita itu sudah pergi. Pelayan itu bingung kemana perginya wanita itu. Kemudian ia melihat sesuatu tertulis pada lap di meja itu.

Ada butiran air mata ketika pelayan itu membaca apa yang ditulis wanita itu: “Engkau tidak berutang apa-apa kepada saya. Saya juga pernah ditolong orang. Seseorang yang telah menolong saya, berbuat hal yang sama seperti yang saya lakukan sekarang. Jika engkau ingin membalas kebaikan saya, inilah yang harus engkau lakukan: ‘Jangan biarkan rantai kasih ini berhenti padamu’.'”

Di bawah lap itu terdapat empat lembar uang kertas $ 100 lagi. Wah, masih ada meja-meja yang harus dibersihkan, toples gula yang harus diisi, dan orang-orang yang harus dilayani, namun pelayan itu memutuskan untuk melakukannya esok hari saja. Malam itu ketika ia pulang ke rumah dan setelah semuanya beres ia naik ke ranjang. Ia memikirkan tentang uang itu dan apa yang telah ditulis oleh wanita itu.

Bagaimana wanita baik hati itu tahu tentang berapa jumlah uang yang ia dan suaminya butuhkan? Dengan kelahiran bayinya bulan depan, sangat sulit mendapatkan uang yang cukup. Ia tahu betapa suaminya kuatir tentang keadaan mereka, dan ketika suaminya sudah tertidur di sampingnya, pelayan wanita itu memberikan ciuman lembut dan berbisik lembut dan pelan, “Segalanya akan beres. Aku mengasihimu, Bryan Anderson!”

Ada pepatah lama yang berkata, “Berilah maka engkau diberi.” Hari ini saya mengirimkan kisah menyentuh ini dan saya harapkan anda meneruskannya. Biarkan terang kehidupan kita bersinar. Jangan hapus kisah ini, jangan biarkan saja!

Mencari Tuhan di Penggorengan Pisang Raja

SORE hari terasa lezat jika disisipi beberapa potong pisang goreng dan teh manis hangat. Setelah lelah berdiri beberapa jam menyampaikan materi pelatihan, laju mobil saya mengantarkan saya ke sebuah warung gorengan yang tidak jauh dari komplek perhotelan mentereng di negeri ini. Kaca mata bisnis saya selalu saja senang memperhatikan geliat orang-orang yang berani menolong diri sendiri dan keluarganya melalui usaha halal dalam bentuk apapun. Melihat warung ini, saya mencoba mengkalkulasikan kira-kira berapa besar nilai bisnisnya. Bagaimana pengelolaannya, bagaimana pemasarannya, teknik jual si pelayan dan berbagai hal-hal teoritis lainnya. Seorang paruh baya menyodorkan sepiring pisang goreng ke hadapan saya sambil tersenyum ramah dan berbasa-basi mempersilahkan saya untuk mencicipinya sekaligus menanyakan minuman apa yang saya minati. Pemilik wajah yang begitu teduh dan damai itu bernama Sudiro yang akhirnya saya tahu bahwa panggilan akrabnya adalah Wak Diro. Menikmati pisang goreng terasa lebih hangat dengan obrolan ringan bersama Wak Diro. Dalam guyonan yang mengalir saya tahu ternyata Wak Diro adalah perantau asal Kudus yang sudah 16 tahun menjual gorengan pisang. Dalam satu hari ia bisa menghabiskan satu tandan besar dan hasil penjualannya bisa menyekolahkan ke empat anaknya hingga menjadi sarjana. Wak Diro rupanya jebolan fakultas teknik universitas negeri tertua di Jogjakarta, walau ia hanya bisa sampai semester 5. Kenapa tidak bisnis yang lain Wak? Atau menjadi pegawai negeri? Tanya saya menyelidik. Belum sempat menjawab pertanyaan saya, ia menggukkan badan tanda permisi kepada saya karena datang satu mobil Kijang Inova baru yang mendekat. Ternyata mobil itu dikemudikan oleh istrinya yang mengantarkan sesuatu. Pikiran saya berputar tak tentu. Tanpa sadar saya sedang menakar kantong orang tua ini. "Seorang penjual pisang goreng mampu menguliahkan keempat anaknya hingga sarjana dan kini didepan mata saya, si Istri datang dengan mobil baru yang tidak murah harganya".

Bukan cari uang
Sekali lagi saya jarah lagi semua sudut warung kecil itu. Penataan dagangan lumayan menarik, tetapi tidak istimewa. Kualitas produknya berupa gorengan juga terasa sama seperti pisang goreng ditempat lain. Atmosfir warung juga sama seperti warung-warung lain, walau yang ini terlihat lebih bersih dan terjaga. Sarana promosi sangat sederhana, hanya tulisan Pisang Goreng Panas yang ditulis tangan dengan kuas biasa. Daftar harga tercetak di selembar kertas terlaminasi yang ditempel di dinding sebelah kiri. Ada dua orang pegawai yang membantu menggoreng, membuat minuman dan melayani pelanggan sekaligus. Tetapi jumlah pembelinya silih berganti, tidak sederah air pancuran, tetapi datang satu-satu seperti tiada henti. Tak lama kemudian istri Wak Diro pergi, kata Wak Diro, istrinya harus mengantar beberapa kertas tisue ke lima cabangnya yang lain. Dan informasi itu membuat saya memilih untuk bertahan lebih lama demi mengetahui apa rahasia sukses bisnis ini. Setelah melewati beberapa basa-basi, lalu ia bertanya kepada saya, "Mas, sampean apa percaya sama Gusti Allah?". Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena saya tidak bisa memperkirakan kemana arah pemikirannya. Lalu tanpa menunggu jawaban saya, Wak Diro menjelaskan bahwa dalam 8 tahun terakhir Ia tidak lagi mencari uang semata, tapi Ia mencari Tuhan. "Uang bagi saya hanyalah sekadar bonus atas pencarian dan pengabdian saya ke Gusti Allah". Seperti pengakuan kebanyakan manusia, Ia meyakini bahwa hanya Tuhan yang sanggup mengarahkan dirinya kepada kondisi apapun."Mas, saya bukan jualan pisang gorang lho", aku Wak Diro, "Saya ini sedang membantu orang-orang agar bisa beribadah dengan baik". "Wow..." pikir saya, apakah penjual pisang goreng ini masih waras? "Saya ini senang membantu banyak orang dengan mengganjal perutnya agar ibadah shalat Ashar dan Maghrib-nya berjalan dengan baik, karena jam makan malam biasanya setelah Shalat Isya" terang Wak Dirno. Saya mulai memahami apa maksud kalimat Wak Diro sebelumnya, "Uang bagi saya hanyalah sekadar bonus atas pencarian dan pengabdian saya ke Gusti Allah". Kini saya paham, mengapa ia begitu ramah menyambut tamu-tamunya, kualitas gorengan tetap terjaga baik ukuran maupun takarannya dan ruangan kedai ini tetap terjaga kebersihannya. Jelas bukan karena sekadar mencari uang, tetapi Wak Dirno sedang beribadah. Mencari keridhaan Tuhan. Seperti dijanjikan Allah ketika kita bersyukur, maka nikmat itu terus bertambah dan mengalir lancar. Saya benar-benar terbayang betapa saya dan banyak sahabat saya yang kerja mati-matian siang -malam hanya sekadar mencari uang. Bayangan itu begitu asam terasa setelah mendengar pengakuan Wak Dirno itu. Betapa Wak Dirno sudah menemukan kunci dasar sukses bisnis. Ia tidak sekadar menjual jajanan, ia muncul dengan alasan yang lebih mulia. Pisang goreng hanya media mendapatkan ridha Sang Khalik. Semua bentuk kerja dan bisnis dikerjakannya dengan menghadirkan batin, tulus dan iklas.

Khawatir
"Bagian saya adalah mempermudah ibadah orang lain, bagian Gusti Allah menjaga saya Mas" "Saya hanya pasrah dan memohon agar selalu dituntun Gusti Allah" aku Wak Dirno. "Apapun langkah saya, saya percaya Gusti Allah akan menyelamatkan saya. Jika saya dibawa ke kubangan Kebo sekalipun, saya tetap percaya kalau itu adalah kehendak Gusti Allah dengan maksud tertentu agar saya mendapatkan hikmah atas perjalanan itu". Menyelesaikan pisang terakhir, saya bertanya, "Wak, apakah sampean tidak khawatir dengan kenaikan BBM?", dengan ringan Wak Dirno menjawab, "Lha wong, saya sudah serahkan hidup saya ke Gusti Allah, kok mesti kuatir?". Sambil mengulurkan uang kembalian ke saya, ia berujar, "Saya kan cuma kawulo, apakah pantes kalau saya ikut campur tangan 'ngatur kerjaan Kanjeng Gusti?"

Tulisan ini sudah diterbitkan di harian waspada pada tanggal 26 mei 2008, dihalaman bisnis dan teknologi.

Bekerja dengan Cinta dan Ketulusan

Bila anda tidak mencintai pekerjaan anda, maka cintailah orang-orang yang bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan, pekerjaan anda pun jadi menggembirakan.

Bila anda tidak mencintai teman kantor anda, maka cintailah gedung dan suasana kantor. Ini akan memotivasi anda berangkat kerja dan melakukan pekerjaan kantor dengan lebih bersemangat.

Bila ternyata anda tidak bisa melakukannya, cintai perjalanan pulang pergi dari dan ke tempat kerja anda. Perjalanan yang menyenangkan akan menjadikan tujuan perjalanan atau kantor tampak menyenangkan.

Tapi jika anda pun tak menemukan kesenangan di perjalanan, cintai apapun yang bisa anda cintai dari tempat kerja anda. Bisa tanaman hias di meja kerja, barisan semut di dinding, atau burung-burung yang beterbangan di luar sana. Apa saja !

Jika tidak juga menemukan sesuatu yang bisa anda cintai dari kerja anda, kenapa anda masih di situ??? Cepat pergi dan carilah apa yang anda cintai, lalu bekerjalah di sana. Hidup cuma sekali. Tak ada yang lebih indah selain melakukan sesuatu dengan cinta yang tulus.
Sumber:

AYAH, MAAFKAN DITA

Sepasang suami istri, seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anaknya di rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerapkali dibiarkan pembantunya bermain karena sibuk di dapur. Bermainlah ia bersama ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari ia melihat sepotong paku karat. Dan kemudian iapun mencoretkan paku itu ke lantai dimana ayahnya memarkir mobil, tetapi karena lantai itu terbuat dari marmer maka coretan itu tidak nampak jelas. Dicobanya lagi coretan di mobil baru ayahnya. Ya.... karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya nampak jelas. Apalagi anak inipun semakin membuat coretan sesuai dengan kreatifitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh pembantu rumah.

Sore hari saat kedua orangtuanya pulang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si ayah yang belum sempat masuk ke dalam rumah itupun terus berteriak, ”Kerjaan siapa ini? Pembantu rumah yang tersentak dengan teriakan itu berlari keluar rumah.. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi si bapak mengajukan pertanyaan keras kepadanya, diapun terus menjawab ”Saya tidak tahu ... tuan...”. Kamu sepanjang hari di rumah, apa saja yang kau lakukan?, hardik sang istri lagi.

Mendengar suara ayahnya, Si anak yang sedang berada di dalam kamar lalu keluar. Dengan penuh manja seorang anak, diapun berkata ”Dita yang membuat gambar itu ayah..... cantik ... kan! katanya sambil sambil memeluk ayah dan bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah mulai hilang kesabaran kemudian mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya., terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tidak mengerti apa2 lalu menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Belum puas memukul telapak tangan anaknya, si ayahpun memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan kepada anaknya itu. Pembantu rumah tangga terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si ayah cukup lama memukuli tangan kanan anaknya dan kemudian ganti tangan sebelah kiri. Setelah merasa puas, kemudian si ayah masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh si istri, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu dan membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat tangan anak kecil itu luka2 dan berdarah. Pembantu rumah itu lalu memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramkan air, iapun ikut menangis karena merasa iba. Anak kecil itu menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanyan itu terkena air. Lalu si pembantu rumah itu menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan si anak kecil itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokan harinya, kedua tangan anak kecil itu terlihat bengkak. Pembantu rumah mengadu kepada majikannya. ”Oleskan obat saja” jawab si ayah.



Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktunya di kamar pembantu. Si ayah konon ingin memberikan pelajaran kepada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk si anak, sementara si ibu juga demikian, meski setiap hari ia bertanya kepada pembantu rumah. Dita demam, Bu” jawab si pembantu rumah singkat. ”Berikan panadol saja” timpal si ibu. Sebelum si ibu masuk ke rumah, dia pun menyempatkan menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihatnya anaknya Dita dalam pelukan si pembantu iapun kembali menutup pintu kamar pembantu dan masuk ke kamar tidurnya.
Masu hari ke empat, pembantu rumah memberitahu kepada tuannya bahwa suhu badan Dita sangat panas. ”Sore nanti kita bawa ke klinik.... pukul 5 sore sudah siap” kata majikannya. Sampai saatnya si anak dalam kondisi anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah sangat serius.

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kemudian dokter memangggil kedua orang tua si anak kecil itu. ”Tidak ada pilihan lain ...” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah sangat parah dan infeksi akut. ”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan si anak, maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan si ibu bagaikan terkena halilintar mendengarkan kata2 dokter itu. Terasa dunia seperti berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung-raung sambil merangkul si anak. Dengan berat hati dan klelehan air mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anakpun menangis karena kesakitan. Diapun heran kedua tangannya dibalut dengan kasa putih. Ditatapnya wajah ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. ”Ayah..ibu ... Dita tidak akan melakukannya lagi .... Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi .... Dita sayang ayah .... Dita sayang ibu” katanya berulang kali membuat si ibu tak kuasa menahan sedihnya. ”Dita pun sayang sama mbok Narti ...” katanya pula sambil memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat pembantu rumah itupun meraung histeris.

”Ayah kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil .... Dita janji tidak akan mengulangi lagi ! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti? ... Bagaimana Dita mau main nanti? ..... Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi... katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangannya dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya mesti harus dipotong meskipun ia sudah meminta maaf.

Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yang tak bertepi. Namun si anak, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar dan bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

Sumber dr Email teman