Sabtu, 12 Juni 2010

Trading Places

oleh : Arfan Pradiansyah

Dua kakak-adik bersama-sama mengelola sebuah ladang dan penggilingan. Setiap malam mereka membagi butir-butir padi untuk digiling esok siang. Yang seorang hidup sendiri, yang satunya menikah dan dikaruniai banyak anak.

Suatu hari pria yang hidup sendiri itu berkata dalam hati, “Tidak adil kalau butir padinya dibagi rata. Aku hidup sendiri sedangkan saudaraku punya banyak anak yang harus diberi makan.” Maka, setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi bagiannya dan meletakkan di lumbung saudaranya.

Ternyata pria yang menikah juga memikirkan situasi saudaranya dan berkata dalam hati, “Tidak adil kalau kami membagi butir padi sama rata. Aku punya anak-anak yang akan mengurus diriku kalau aku sudah tua. Bagaimana dengan dia?” Maka setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi dari lumbung miliknya, dan meletakkan di lumbung saudaranya.

Suatu malam mereka berpapasan di jalan antara dua rumah mereka. Dan tiba-tiba mereka menyadari apa yang selama ini terjadi. Mereka baru menyadari mengapa selama ini persediaan butir padi mereka tidak pernah berkurang. Mereka pun berpelukan dengan penuh kasih sayang.

Pembaca yang budiman, betapa indahnya dunia ini kalau kita bisa saling menghayati apa yang dibutuhkan orang lain. Bukankah berbagai masalah yang kita hadapi dalam hidup ini sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan kita untuk saling bertukar tempat (trading places) dan melihat segala sesuatu dari kacamata orang lain?

Bertukar tempat sesungguhnya merupakan rahasia kesuksesan yang terbesar. Orang yang mampu bertukar tempat mampu membaca pikiran orang lain. Ia berusaha mendengar dari telinga orang lain dan melihat dari mata orang lain. Ini tentu saja membuatnya mampu berkomunikasi dengan siapa saja. Bukan itu saja, bertukar tempat juga merupakan rahasia kebahagiaan (happiness) yang terbesar. Kemampuan bertukar tempat akan melahirkan rasa kasih yang luar biasa. Dan bukankah kasih sejatinya merupakan inti kebahagiaan?

Kalau semua orang di dunia ini mampu bertukar tempat, tentu tidak akan ada lagi kejahatan, kesedihan, kekecewaan, keburukan. Dunia juga akan bersih dari pembunuhan dan peperangan. Bagaimana mungkin Bush (ketika menjadi Presiden Amerika Serikat) bisa memerangi orang lain, membuat mereka cacat dan kehilangan keluarga yang mereka cintai, bila ia bisa membayangkan dirinya sendiri yang menjadi cacat atau kehilangan anak yang sangat ia cintai?

Namun bertukar tempat ternyata tidak semudah yang dikatakan. Ada lima alasan yang membuat bertukar tempat itu sulit. Pertama, karena pada dasarnya kita mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri memang menjadi fitrah kita dan merupakan tahap perkembangan manusia yang paling awal. Tanpa mementingkan diri sendiri kita akan punah dari kehidupan. Namun berada pada fase ini membuat kita tidak berbeda dari seorang anak kecil yang bila meminta sesuatu mengharuskan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan dia saat itu juga. Seorang anak kecil belum mampu memahami bahwa orang tuanya saat ini sedang sangat sibuk. Berada dalam fase ini selamanya juga akan membuat kita tak ada bedanya dari hewan. Tahap pendewasaan seseorang sebenarnya ditandai dengan kemampuan bertukar tempat dan merasakan apa yang dialami oleh orang lain.

Kedua, karena yang paling menarik perhatian kita adalah diri kita sendiri. Ini mudah sekali membuktikannya. Coba Anda ambil sebuah foto yang memuat gambar Anda dan teman-teman Anda. Dari mana Anda menilai bahwa foto itu bagus atau tidak? Siapa yang menjadi pusat perhatian Anda? Sudah tentu Anda sendiri bukan? Tak peduli bagaimana amburadulnya gambar orang lain, sebuah foto kita nilai bagus kalau pose kita dalam foto itu bagus.

Ketiga, kita sulit bertukar tempat karena kita tidak pernah mengalami menjadi orang lain. Bagaimana kita bisa merasakan tantangan yang dialami oleh para sopir angkutan umum – yang sering kali membawa kendaraan secara ugal-ugalan dan mengganggu kenyamanan kita – kalau kita setiap harinya duduk nyaman di mobil kita yang ber-AC? Bagaimana seorang karyawan – yang setiap hari senantiasa mengeluh – bisa memahami apa yang dirasakan oleh pemilik perusahaan? Bagaimana kita yang setiap hari makan enak dan tidur nyenyak bisa membayangkan bagaimana menjadi orang miskin? Bagaimana seorang suami bisa memahami apa yang dirasakan oleh istrinya yang tengah mengandung anak pertama?

Kita tidak akan pernah mengalami situasi yang demikian, karena itu kita tidak akan bisa berempati dan benar-benar merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Namun sejatinya bertukar tempat tidak selalu berarti mengalami. Justru bertukar tempat adalah kemampuan kita untuk “mengalami” tanpa benar-benar mengalami. Ini bisa dicapai dengan latihan dan mengembangkan kedewasaan kita.

Keempat, kita sulit bertukar tempat karena kita sedang dalam situasi krisis. Bayangkan. Bila Anda sedang sakit gigi, dan di kanan-kiri Anda ada orang yang sedang terkena bencana gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, kebanjiran atau kehilangan orang yang dicintai. Dari sekian banyak masalah tersebut, manakah yang merupakan masalah terbesar di dunia ini? Sudah pasti gigi Anda!


Kelima, kita sulit bertukar tempat karena menganggap bertukar tempat itu tidak penting. Pasalnya, kita tidak benar-benar menyadari manfaatnya bagi kesuksesan dan kebahagiaan kita.

Orang yang mampu bertukar tempat sejatinya adalah orang yang dapat melampaui dirinya sendiri. Dan ketika kita mampu melampaui diri sendiri, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat kita pahami. Tiada lagi kebencian dan permusuhan. Toh, bukan berarti kita setuju dengan apa yang dilakukan orang lain. Memahami tidaklah berarti setuju dengan perbuatan buruk, kata-kata yang kasar, penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Memahami berarti memandang apa pun yang ada di hadapan kita – seburuk apa pun itu – dengan mata kasih.

Penulisan adalah Direktur Pengelola ILM & penulis best seller The 7 Laws of Happiness (Friday, February 12th, 2010)

Sumber Tulisan:

Kisah Sinar menggugah banyak orang

6 Januari 2010

SubhanaLlah, Maha Suci Allah! Sangat mengharukan! Itulah sebagian besar ungkapan penonton saat melihat tayangan di SCTV tentang kisah anak usia 6 tahun mengurus ibunya yang lumpuh. Bahkan tidak sedikit yang menitikkan air mata saat menyaksikan Sinar, nama bocah belia itu menampakkan bakti, cinta dan kasih sayangnya pada sang bunda, mengabaikan masa kecilnya pada saat anak-anak seusianya menghabiskan waktunya dengan bermain, sementara ia harus berada di samping bundanya yang sakit sejak dua tahun lalu.

Rumah Murni, nama ibu yang lumpuh ini terletak Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Walau tampak jauh dari keramaian kota, tapi rumah Murni juga tidak luput dari keramaian Pemilu lalu. Terbukti dengan banyaknya sticker partai dan caleg yang tertempel di dinding rumah kayu sangat sederhana itu. Tapi sepertinya para politisi dan kader partai itu abai dengan apa yang terjadi di tengah keluarga miskin ini. Para tetanggalah yang terkadang memberikan bantuan ala kadarnya untuk Murni dam putrinya, Sinar. Karena suami Murni sendiri merantau ke Malaysia.

Sinarlah yang membantu dan menemani ibunya selama ini. Mulai dari memindahkan atau menggeser tubuhnya, masak, makan, minum, mandi hingga buang air. Semua itu ia kerjakan sendiri dengan penuh cinta. Tayangan yang ditampilkan SCTV ini bahkan sanggup meruntuhkan air mata mereka yang menyaksikannya. Ada rasa iba dan takjub sekaligus melihat bocah usia 6 tahun yang tampak penuh tanggung jawab melakukan tugas mulianya, sambil mengusap mesra pipi ibunya.

Bocah kelas satu Sekolah Dasar ini bahkan kerap terlambat ke sekolah karena harus mengurus ibunya. Begitu pula setelah pulang sekolah. Nyaris seluruh waktunya telah ia persembahkan bagi ibunya yang sakit parah. Walaupun Sinar memiliki lima orang kakak dan juga belum dewasa, namun mereka semua tinggal terpisah dengannya. Faktor ekonomi membuat mereka menjadi pembantu rumah tangga.

Kisah Sinar, bocah belia usia 6 tahun ini mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya berbakti kepada kedua orang tua. Walau di antara kita mungkin ada yang bertanya, apakah karena usianya yang masih sangat belia itu yang membuat Sinar mampu memahami arti berbakti kepada orang tua? Karena kita sendiri heran melihat perilaku seorang anak yang sudah dewasa justru tak sudi melayani ibunya yang renta dan tak mampu lagi berbuat apa-apa. Ia telah kehabisan cinta dan kasih sayang untuk ibunya.

Tapi begitulah Allah mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih kepada orang tua melalui anak kecil ini. IA telah letakkan dalam hatinya pada saat banyak manusia yang justru tak memilikinya. Semoga saja ibu Murni dapat segera sembuh dari penyakit yang menimpanya. Dan putrinya, Sinar, senantiasa diberikan kekuatan oleh Allah Ta’ala berbakti kepada ibunya.

Kisah Sinar, bocah kelas satu Sekolah Dasar Tondo Pata, Polewali Mandar, Sulawesi Selatan, ternyata menggugah nurani banyak orang. Sejumlah dermawan memberikan berbagai bantuan seperti pakaian, beras, uang hingga kasur untuk tidur. Bahkan beberapa dermawan lainnya akan membantu biaya sekolah Sinar.

Cinta bocah bernama Sinar pada ibunya juga telah menginspirasi Charlie, vokalis band ST12. Sebagai bentuk simpati, Charlie menciptakan lagu berjudul Sinar Pahlawanku. Bukan hanya mencipta lagu, ST12 bahkan menginap di rumah anak perempuan berusia enam tahun itu.

Sontak rumah warga Dusun Tondo Pata, Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menjadi ramai. Penduduk berdatangan untuk melihat band Ibu Kota. Sementara bagi ST12, mereka ingin melihat langsung ketabahan dan kegigihan Sinar merawat ibunya yang lumpuh.

Kebiasaan sehari-hari Sinar, yaitu memasak dan mencuci pakaian. Semua dilakukan seorang diri karena para saudaranya sudah tidak tinggal di rumah. Jangan menangis sayang, ini hanyalah cobaan Tuhan. Hadapi semua dengan senyuman, dengan senyuman. ST12 berharap, bait lagu ciptaan untuk Sinar bisa menguatkan anak yang mencintai ibunya itu.

ini dia video lagu tersebut :

video charlie ST12 menginap dirumah Sinar :

sumber liputan6.com, kompasiana.com, yahoo.com
Sumber tulisan:

AYO PUKUL, AYAH!

(Sebuah pengalaman hidup)

Ayah adalah penggemar baseball yang fanatik. Saya tumbuh di New York City, karena itu bisa melihat team-team yang hebat berlaga di Polo Grounds, Ebbets Field dan Yankee Stadium.
Pada hari Sabtu, saya dan ayah sering menjadi sporter untuk mendukung team favorit kami di stadion itu. Lama-lama saya juga menyukai permainan baseball. Tetapi karena saya seorang anak perempuan – saya lebih banyak sebagai penonton daripada pemain; seperti lazimnya yang terjadi masa itu.

Tiap ada kesempatan, ayah selalu mengajak saya ke taman dimana ada team anak-anak yang bermain baseball, dan ayah melemparkan bola untuk saya pukul. Kami bermain bersama berjam-jam, dan baseball menjadi bagian terbesar dari hidup saya.

Suatu hari saat sedang bermain baseball di taman, saya melihat seorang wanita mendorong anak laki-lakinya di atas kursi roda, berhenti untuk melihat permainan kami. Ayah menghentikan permainan dan bertanya kepada
anak itu apakah mau ikut bermain. Ibunya menjelaskan bahwa yang di kursi roda itu adalah anaknya dan menderita polio; sehingga tidak bisa beranjak dari kursi roda. Tetapi penjelasan itu tidak menghentikan niat ayah.

Ayah memberikan pemukul di tangan kecil anak itu, dan mendorong kursi roda di base pemukul serta membantunya menggenggam tongkat pemukul. Kemudian ayah berteriak pada saya, “Anne, lemparkan bola pada kami.”

Saya sempat gugup karena kuatir jika bola yang saya lempar mengenai anak itu. Tetapi saat melihat mata anak laki-laki itu berbinar-binar, saya meyakinkan diri untuk melemparkan bola padanya. Saat bola sampai, tongkat
pemukul yang digenggam oleh anak laki-laki dan ayah menghantam dengan tepat, dan anak itu berteriak kegirangan. Bola terbang melintas di atas kepala saya dan jatuh di di seberang lapangan. Saya berlari untuk memungut bola, dan saat berbalik, saya mendengar ayah menyanyikan lagu ‘Bawa Aku Ke Pertandingan Baseball’ sambil mendorong kursi roda itu melewati semua base di sekeliling lapangan. Ibunya bertepuk tangan dengan riuh dan anak itu minta untuk bisa tetap ikut meneruskan permainan.

Satu jam kemudian kami meninggalkan lapangan, sangat lelah tapi bahagia.

Dengan air mata membanjir di pipinya, ibu anak laki-laki itu mengucapkan banyak terima kasih kepada ayah karena sudah memberikan kebahagiaan yang tak ternilai bagi anaknya yang menderita polio. Ayah tersenyum dan
berkata bahwa dia juga ikut merasakan kebahagiaan itu, dan memintanya untuk bisa kembali lagi dan bermain baseball bersama kami.

Pada hari Sabtu berikutnya, saya dan ayah menunggu, tetapi anak laki-laki dengan kursi rodanya tidak muncul. Saya merasa sedih dan menduga-duga apa yang terjadi sehingga mereka tidak datang. Saya dan ayah bermain baseball
sampai siang, tetapi mereka tetap tidak datang.

Dua puluh tahun telah berlalu dan ayah yang saya cintai meninggal dengan tenang di usia lima puluh sembilan tahun. Dengan kepergian ayah, segala sesuatunya berubah dan dan keluarga kami memutuskan untuk pindah ke Long Island. Perasaan saya campur aduk, karena harus meninggalkan lingkungan dan tetangga yang sudah sangat akrab sejak saya kecil.

Terakhir kali, saya memutuskan untuk pergi ke taman dimana saya dan ayah telah mengukir banyak kenangan indah di sana. Saya berhenti di lapangan baseball. Di sana saya dan ayah biasa bermain pada hari Sabtu. Saat itu saya melihat dua group anak-anak sedang bermain baseball.

Saya duduk untuk melihat sejenak. Saya merasa air mata menetes ketika melihat anak-anak itu larut dalam permainan yang sangat saya sukai. Saya sangat rindu pada ayah.

“Jeff, jaga base-mu,” seorang pelatih berseru. Saya menyoraki seorang pemain yang berlari kencang setelah berhasil memukul bola hingga keluar lapangan. Pelatih itu berbalik dan tersenyum. Dia berkata, “Anak-anak sangat senang jika bisa berlari home run, bu.”

Dia meneruskan, “Saya tidak pernah membayangkan bisa menjadi pelatih di lapangan ini. Saat masih kecil saya menderita polio dan harus duduk di kursi roda. Suatu hari ibu mendorong kursi saya ke lapangan ini dan saat itu ada seorang laki-laki dan anak perempuannya sedang bermain. Saat melihat kami, mereka menhentikan permainannya dan bertanya pada ibu saya apakah saya bisa ikut bergabung dalam team itu. Dia membantu saya memegangi tongkat pemukul dan anak perempuannya melemparkan bola pada saya. ”

“Saat itu saya berhasil memukul bola dengan kencang karena dibantu oleh laki-laki itu. Selanjutnya dia berlari mendorong kursi saya melewati semua base di sekeliling lapangan sambil bernyanyi, ‘Bawa Aku Ke Pertandingan Baseball.’ Itu adalah hari yang paling membahagiakan saya, lebih daripada tahun-tahun yang sudah saya lalui. Saya percaya bahwa pengalaman itu memberi dorongan semangat yang luar biasa supaya bisa berjalan.”

“Kami pindah ke New Jersey hari berikutnya. Itulah sebabnya pada itu ibu membawa saya ke taman untuk mengucapkan perpisahan dengan teman-teman saya. Saya tidak pernah melupakan laki-laki berserta anak perempuannya itu. Saya bermimpi bisa berlari melintasi base di sekeliling lapangan dengan kedua kaki saya sendiri. Dengan mimpi itu, melalui kerja keras tiap hari, akhirnya bisa terwujud.”

“Saya kembali lagi ke sini tahun lalu, dan mulai saat itu menjadi pelatih team anak-anak di sini. Saya berharap suatu hari dengan berdiri tegak, bisa bertemu dengan laki-laki dan anak perempuannya lagi. Siapa tahu, saya bisa menemukannya sedang berada di lapangan sedang melemparkan bola pada cucunya – setelah tahun-tahun datang dan pergi. Saat itu saya akan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga padanya.”

Air mata mengalir di pipi saat mengetahui bahwa ayah menerima ucapan terima kasih dari seorang anak yang ditemuinya dua puluh tahun lalu. Saya merasa seolah-olah masih mendengar seruannya “Pukul dengan keras!”, sambil
berdiri tepat di samping saya, tidak peduli apakah hidupnya sudah direnggut dari sisi saya dan keluarganya.

Suatu contoh kebaikan hati yang sederhana di musim semi itu telah mengubah hidup saya selamanya. Setelah dua puluh tahun berlalu, kenangan indah itu ternyata berbuah dengan mengagumkan. “Ayo pukul, ayah!” kata saya saat
meninggalkan lapangan itu. “Saya tahu, ayah masih memainkan pertandingan yang kita sukai bersama – baseball!”

Saya Menangis 6 Kali Untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau berkata, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami sambil marah, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…”

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya, “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”

Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis, menangis… Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku, “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”

Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu…”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya, “Apakah itu sakit?” aku menanyakannya.

“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…”

Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali kesempatan suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya, “Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat:

“Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

(Diterjemahkan dari I cried for my brother six times)