Rabu, 21 Maret 2012

PISTOL SERANGAN JANTUNG

PEMBUNUHAN RAHASIA DGN PISTOL SERANGAN JANTUNG


Kematian aneh banyak tokoh kontroversial akibat "serangan jantung" telah banyak menimbulkan pertanyaan di benak para pengamat "teori konspirasi". Mungkinkah aparat inteligan telah memiliki senjata pemicu serangan jantung mematikan?

Kematian misterius terakhir menimpa Andrew Breitbart, orang yang mengumumkan mempunyai rekaman video yang bisa "menghancurkan" karier politik Barack Obama dan akan segera dibuka ke publik. Ia meninggal akibat "serangan jantung" tgl 1 Maret lalu. Padahal dengan umur masih 40-an th dan tidak pernah memiliki catatan serangan jantung, kematian seperti itu sangat-sangat jarang terjadi. Kematian tersebut menyusul kematian serupa yang menimpa komandan HAMAS Mahmoud Mabhouh di sebuah hotel tgl 19 Januari lalu.

Di antara senjata inteligen baru yang kini menjadi perhatian para pengamat inteligen adalah pistol jarum berisi zat-zat yang memicu serangan jantung. Demikian canggih sehingga jarum yang ditembakkan langsung hancur di dalam tubuh dan melebur dalam darah bersama zat-zat pemicu serangan jantung. Dampak yang dialami penderita saat mendapat tembakan hanya seperti gigitan nyamuk, atau bahkan tidak terasa sama sekali.

"Racun pembunuh dengan cepat menyebar melalui pembuluh darah dan menimbulkan serangan jantung hebat. Dan saat kerusakan terjadi, racun tersebut dengan cepat terurai dengan sendirinya sehingga otopsi yang dilakukan hanya menemukan adanya serangan jantung biasa," ungkap Fred Burks, seorang analis inteligen kepada majalan "Examiner" (Fred Burks, "CIA secret weapon of Assassination", 29 November 2009).

Jarum kecil yang ditembakkan akan menembus pakaian, hanya menimbulkan noda merah di kulit. Jika pakaian yang digunakan cukup tebal seperti jaket kulit, ada kemungkinan korban berhasil diselamatkan. Setelah itu korban akan menderita gatal-gatal di area tembakan sebelum akhirnya terkulai karena serangan jantung.

Kini diyakini pistol jarum pemicu serangan jantung mematikan telah digunakan dinas-dinas inteligen "pionir" seperti Mossad dan CIA. Senjata kecil itu gampang disembunyikan dan ditembakkan. Di tengah-tengah keramaian dan oleh agen inteligen terlatih, senjata itu tidak menimbulkan kecurigaan saat ditembakkan.

"Saat jarum mematikan itu masuk ke dalam tubuh, individu yang menjadi target mungkin merasa seperti mendapat gigitan nyamuk, atau bahkan tidak merasakan dampak apapun. Jarum beracun itu kemudian hancur saat masuk ke dalam tubuh," papar Burks selanjutnya.

Menurut Burks, informasi awal tentang senjata rahasia ini sebenarnya terjadi dalam suatu sidang Komisi Senat yang membahas praktik-praktik ilegal CIA tahun 1975. Namun senjata rahasia ini hanya satu dari beberapa senjata rahasia lainnya yang dibahas dalam sidang yang secara resmi disebut sidang "Komite Khusus Senat untuk Mempelajari Operasi Inteligen Pemerintah."

Kini, 37 tahun kemudian, senjata seperti itu tentu jauh lebih canggih dari yang dibahas dalam sidang senat Amerika.



Ref:
"Heart Attack Homocides in Disguise"; Deborah Dupre; incogman.net; 4 Maret 2012

"More Thoughts on the Death of Andrew Breitbart"; James Buchanan; davidduke.com; 1 Maret 2012
Sumber : http://cahyono-adi.blogspot.com/2012/03/pembunuhan-rahasia-dgn-pistol-serangan.html

Rabu, 14 Maret 2012

Pertolongan Allah Datang Setelah Ujian (I)

(Gambar: xmdr.org)
Masing-masing diri kita pernah mengalami sebuah kesuksesan, apapun bentuknya. Bisa sukses dalam usaha, studi, mengajar, juga bekerja.
Akan tetapi, kita terkadang melupakan sesuatu. Saat kita sukses, seolah-olah kesuksesan itu seratus persen karena kehebatan kita. Ada satu hal, yang perlu digarisbawahi, tidak ada kesuksesan yang seratus persen karena kehebatan kita.
Memang dalam setiap kesuksesan itu ada perjuangan disitu. Namun, begitu kita sukses, jangan beranggapan bahwa kesuksesan itu sepenuhnya buah kerja keras kita. Mari kita lihat dalam firman Allah ketika Nabi diberi kemenangan. Allah mengingatkan “Idzajaa anasrullahi wal fath,” (QS An-Nashr: 1). Ayat tersebut bermakna, apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
Kata ustad saif kutub di dalam tafsirnya ini peringatan bagi kita. Kita sukses karena ada pertolongan Allah. Maka ketika Allah berfirman tentang kemenangan Rasul, tidak disebut “Idzaa jaa al fathu wa naasrullah” tetapi “Idzajaa anasrullahi wal fath”. Jadi percayalah, setiap kali kita meraih kesuksesan sesungguhnya disitu ada kuasa dan pertolongan Allah swt.
Nah, di dalam Al-Quran kata pertolongan itu disebut tidak kurang dari 37 kali. Kalimat pertolongan tersebut ada yang ditulis dengan min (nasruminallah), ada pula yang langsung (nasrullah). Nasruminallah bermakna pertolongan dari Allah. Menurut ahli tafsir, pada kalimat nasrumminallah, masih ada wilayah ikhtiar kita. Namun ada juga  nasrullah, pertolongan Allah. Allah yang menolong sepenuhnya, tidak ada campur tangan kita.
Rekan-rekan mahasiswa yang ingin lulus tentu saja harus ber-ikhtiar. Ikhtiar dia, lembaga, dosen, juga pembimbing, itulah yang disebut nasruminallah. Jadi Allah memberikan pertolongan tetapi masih ada ikhtiar kita.
Pertolongan Dikaitkan dengan Ujian dan Kesabaran
dalam Quran sendiri, kata pertolongan dihubungkan dengan kata ujian. Yang kedua, kata pertolongan juga kerap  dihubungkan dengan kata sabar.
Allah akan menolong seseorang ketika orang itu memang sudah berada dalam klimaks ujian. Dan kalau Allah sudah menolong, logika kita kadang susah untuk menjelaskannya.
Kita ambil contoh, saat Nabi Ibrahim berhadapan dengan raja Namrud.  Saat itu tidak ada jalan keluar agar Nabi Ibrahim selamat. Ia dibakar hidup-hidup. Begitu badannya dilempar kedalam api yang menyala-nyala, seketika itu jua Allah menolong. Yaa naaruku I bardama wa salama. Wahai api dinginlah dan selamatkan (Ibrahim).
Tolong perhatikan disini. Tentu saja, akal manusia akan mengatakan jika manusia terbakar tentu ia akan mengalami luka bakar. Namun, tidak demikian dengan Nabi Ibrahim.
Begitupun dengan Nabi Musa. Saat itu, beliau mengajak Bani Israil keluar dari Mesir menuju Palestina. Firaun yang marah mengirim pasukan untuk mengejar Nabi Musa. Beliau pun berada dalam posisi terjepit.
Laut Merah menghadangnya di depan. Sementara, di belakang sudah ada Firaun bersama tentaranya. Secara logika manusia, sudah tak ada lagi jalan keluar.
Allah pun menolong. Laut Merah terbelah hingga dapat disebrangi dengan mudah. Begitu Nabi Musa dan rombongan tiba di seberang, laut kembali tertutup dan menenggelamkan Firaun beserta prajuritnya.
Contoh lainnya di Indonesia. Pada zaman perjuangan, bangsa kita yang bersenjata bambu runcing mesti berhadapan dengan tentara-tentara Belanda dan Jepang yang menggunakan senjata otomatis. Secara logika kita seharusnya kalah, tapi kenapa kita menang? Lagi-lagi pertolongan Allah.
Saat ini, kita bangsa Indonesia, diuji oleh berbagai hal. Krisis multidimensi. Kalau menggunakan logika, orang bisa putus asa. Namun, kita tidak perlu berputus asa. Karena kalau Allah sudah memberikan pertolongan, hitungan matematis otomatis tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara bangsa ini mesti meniru mental menghadapi krisis layaknya Rasulullah. [Fe]

Disarikan dari Ceramah Jumat, 10 Februari 2012 di Masjid Salman ITB oleh Dr. H. Aam Amiruddin, M.Si, pendiri dan pembina Yayasan Percikan Iman

Sumber :  http://salmanitb.com/2012/03/pertolongan-allah-datang-setelah-ujian

Sabtu, 03 Maret 2012

Operasi Geraham Bungsu

 Bagi Teman2 yg punya masalah dg gigi geraham bungsu, ada baiknya membaca cerita  berikut ini. Semoga Bermanfaat !

Cerita Saya : Operasi Geraham Bungsu

Posted: 20 Agustus 2011
Apa, Kenapa, Bagaimana
Bagi beberapa orang, istilah geraham bungsu terdengar asing. Bahkan ada yang mengatakan kalau geraham bungsu itu adalah geraham susu (seperti gigi susu yang tumbuh pada usia anak-anak). Sebenarnya, geraham bungsu itu adalah gigi terakhir yang tumbuh, pada usia 18-23 tahun.
Jumlah gigi pada manusia dewasa terdiri atas 8 buah gigi seri, 4 buah gigi taring, dan 20 buah gigi geraham. Jika dibuat gambaran seperti dibawah ini
Susunan Gigi Orang Dewasa
Rahang Atas :       M3-M2-M1-PM2-PM1-C-LI-CI-CI-LI-PM1-PM2-M1-M2-M3
Rahang Bawah  : M3-M2-M1-PM2-PM1-C-LI-CI-CI-LI-PM1-PM2-M1-M2-M3
Keterangan :
CI : Centra Incisor (Gigi seri besar)
LI : Lateral Incisor (Gigi seri kecil)
C : Canine (Gigi taring)
PM1 : Premolar 1 (Geraham kecil depan)
PM2 : Premolar 2 (Geraham kecil belakang)
M1 : Molar 1 (Geraham besar depan)
M2 : Molar 2 (Geraham besar tengah)
M3 : Molar 3 (Geraham besar belakang)
Pada usia beranjak remaja, gigi manusia hanya 28 buah (hanya sampai M2). Sementara Molar 3 tumbuh saat usia menginjak dewasa, karena itu Molar 3 atau Geraham bungsu sering disebut Wisdom Teeth, gigi yang tumbuh diusia dewasa.
Gigi bungsu termasuk dalam kategori struktur vestigial, yaitu struktur yang fungsi awalnya menjadi hilang atau berkurang sejalan dengan evolusi. Salah satu contoh struktur vestigial lainnya adalah tulang ekor pada manusia, kelopak mata ketiga (Pilica Semilunaris), bulu, dan umbai cacing (Appendix).
Pertumbuhan geraham bungsu tidak menjadi masalah jika terdapat ruang yang cukup di rahang untuk tempat tumbuhnya geraham bungsu. Tapi, jika tidak tersedia ruang yang cukup untuk tumbuh gigi pada rahang, maka geraham bungsu akan tumbuh tidak wajar seperti tumbuh horizontal (menyamping) yang akan mendesak geraham disebelahnya sehingga merusak geraham yang didesak itu, jika tumbuh agak kedalam bisa merusak akar geraham disampingnya. Geraham bungsu bisa saja tumbuh vertical ke bawah, ini bisa merusak jaringan gigi dan tulang lunak pada rahang. Pertumbuhan tidak sempurna juga bisa membentuk kista dan tumor pada rahang.
Impaksi Geraham Bungsu
Faktor keturunan menjadi masalah pertumbuhan geraham bungsu. Misalkan saja seorang anak dari ayah yang mempunyai rahang besar dan ukuran gigi besar dan ibu yang mempunyai rahang kecil dan gigi kecil berkemungkinan akan membwa sifat gabungan dari orang tua. Tidak masalah jika si anak mempunya rahang besar dan ukuran gigi kecil sehingga masih memiliki cukup ruang pada rahang untuk tempat tumbuh gigi bungsu. Akan menjadi masalah jika si anak mempunyai rahang kecil dan gigi besar yang akibatnya ruang tempat tumbuhnya geraham bungsu tidak ada – kondisi seperti ini yang saya alami. Ada juga yg mengkaitkan pertumbuhan tidak normal dari gigi bungsu karena pola makan yang lunak sehingga tumbuh kembang rahang tidak terstimulir dengan baik.
Selain keluhan sakit gigi dan peradangan gusi/gigi, masih ada beberapa gejala lain yang timbul dari permasalahan gigi bungsu seperti sakit kepala yang tidak jelas sumbernya, telinga berdengung, sakit leher, bahkan terbentuknya kista pada rongga dalam rahang. Saya sendiri sering mengalami sakit kepala, bahkan terkadang seperti mau pingsan, katanya ini bisa jadi muncul dari efek geraham bungsu yang tumbuh abnormal dan menekan syaraf.
Contoh : Benih Geraham Bungsu Yang Akan Tumbuh Tidak Normal
Benih geraham bungsu mulai muncul di umur 9 tahun dan mahkota gigi selesai terbentuk umur 12-15 tahun. Jadi gigi geraham bungsu sudah dapat dilihat melalui rontgen pada umur 12-15 tahun walaupun gigi tersebut belum tumbuh.
 Dengan demikian pencabutan gigi geraham bungsu yang impaksi dapat dilakukan antara umur 12-18 tahun atau setelah gigi molar / geraham kedua tumbuh. Tentu saja persiapannya dilakukan rontgen foto sebelum dilakukan pencabutan. Pencabutan gigi geraham bungsu pada usia 12-18 tahun dikenal dengan pencabutan preventif dan ini sangat dianjurkan mengingat pada usia tersebut akar gigi masih pendek sehingga memudahkan operasi dan mempercepat waktu penyembuhan dan menghindari terkenanya saraf pada rahang.


Operasi Geraham Bungsu
Berawal dari ajakan teman, akhirnya saya mulai rutin memeriksakan gigi ke dokter, sejak setahun lalu. Tujuan utama membersihkan karang gigi dan menambal beberapa gigi yang bolong (sebesar lubang jarum) dan mencabut 2 buah geraham yang sudah rusak (gigi molar 1 kiri bawah dan kanan bawah, karena lubangnya sudah sangat besar). Butuh bolak-balik beberapa kali untuk menyelesaikan semua perawatan gigi itu.
Pembersihan karang dan penambalan beberapa gigi yang berlubang sudah selesai, tinggal mencabut 2 geraham molar satu sisi kiri dan kanan bawah. Namun, sebelum geraham molar dicabut, bu dokter menyarankan saya untuk melakukan rontgen rongga mulut (foto paranomic) untuk melihat posisi geraham bungsu. Menurut bu dokter, seharusnya di umur 23 tahun geraham bungsu sudah muncul ke permukaan. Tapi, geraham bungsu saya belum terlihat juga.
Kemudian, saya me-rontgen gigi ke RS. Eka Hospital di Pekanbaru. Dari hasil rontgen terlihat kalau ke-4 geraham bungsu sudah tumbuh, tapi tidak keluar dari lapisan gusi. Geraham bungsu kiri dan kanan bawah, berukuran besar dan tumbuh horizontal menabrak gigi disampingnya. Sementara geraham bungsu kanan atas tumbuh diagonal, juga menabrak geraham disampingnya. Terakhir, geraham bungsu kiri atas tumbuh lurus vertical, tapi tidak muncul ke permukaan. Kesimpulannya, ke-4 geraham bungsu ini harus dicabut. Jika tidak dilakukan maka ke-3 geraham bungsu yang tumbuh horizontal dan diagonal akan merusak gigi disampingnya. Sementara geraham bungsu kiri atas yang tumbuh vertical namun tidak muncul ke permukaan, dapat mengakibatkan kista.
Hasil Foto Paranomic
Foto Rahang Kanan : Geraham bungsu kanan bawah tumbuh horizontal dan menabrak geraham disampingnya, sementara geraham kanan atas tumbuh diagonal dan mulai menabrak akar geraham disampingnya. Kedua geraham tidak muncul ke permukaan gusi
Foto Rahang Kiri : Geraham bungsu kiri bawah tumbuh horizontal dan merusak akar geraham disampingnya, sementara geraham kiri atas tumbuh lurus. Kedua gigi tidak muncul ke permukaan gusi
Sebelum memutuskan untuk mencabut geraham bungsu, saya melakukan riset kecil dari artikel-artikel di internet. Akhirnya saya mengetahui masalah geraham bungsu tumbuh abnormal itu menjadi hal biasa, apalagi bagi orang Indonesia yang mempunyai struktur rahang kecil. Yang terpenting dari riset kecil ini adalah mengetahui kisaran biaya operasi. Ada yang mengatakan operasi kecil (dengan bius local) untuk 1 gigi diklinik dokter gigi yang melayani pencabutan geraham bungsu adalah 4 juta rupiah, kalau 4 gigi berarti 16 juta. Ada juga klinik yang menarifkan 1 juta pergigi, tapi itu di Jakarta, dan dicabutpun harus satu-persatu dengan bius lokal (tidak sekaligus). Bahkan di sebuah RS International, operasi 4 geraham bungsu dengan bius total ditarifkan 40 juta. Di salah satu RS Swasta di Pekanbaru, biaya cabut 4 geraham bungsu adalah 12 juta rupiah. Ya, mendengar biaya yang super duper selangit itu bikin saya ciut. Bisa-bisa rencana operasi terkendala karena biaya yang selangit itu.
Setelah memperoleh info dari teman yang bekerja di Askes, operasi geraham bungsu termasuk yang ditanggung sebagian oleh Askes. Dan baiknya lagi, di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru terdapat dokter gigi spesialis Bedah Mulut yang melayani operasi geraham bungsu. Biaya operasinya pun jauh lebih murah dari yang saya sebutkan diatas.
Akhir Desember, saya ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru untuk kontrol pertama perawatan gigi. Setelah dokter melihat hasil rontgen gigi, dia menyarankan untuk dioperasi. Saya dijadwal akan dioperasi tanggal 2 Februari 2011, karena RSUD Arifin Achmad hanya melakukan operasi setiap rabu dan kamis ditambah banyak pasien yang juga menunggu untuk dioperasi.
Seminggu sebelum operasi, saya rajin bolak balik RSUD untuk kontrol pra-operasi. Mulai dari rontgen thoraks (dada), cek darah, sampai konsultasi anestesi. Karena geraham bungsu yang dicabut 4 buah, ditambah 2 geraham molar satu yang rusak karena berlubang, dan 1 buah molar dua yang akarnya rusak karena ditabrak oleh geraham bungsu yang tumbuh abnormal maka dokter menyarankan saya untuk anestesi total. Walaupun anestesi total, tapi ini termasuk kategori operasi kecil. Katanya, butuh waktu lama untuk mencabut 7 buah geraham. Dan bagi pasien yang ke-4 geraham bungsunya impaksi sebaiknya dicabut semua dan sekaligus agar sakit (bengkak) pasca-operasi cukup dirasakan sekali saja.
Satu malam sebelum operasi, saya sudah mulai menginap di RSUD. Saya sengaja mengambil kamar perawatan VIP (dua kelas diatas standar kamar perawatan untuk PNS golongan II) agar mendapatkan perlakuan perawatan yang lebih baik, mengingat ini di RS Pemerintah. Resikonya, biaya yang nanti akan saya tanggung sedikit lebih besar, karena Askes hanya menanggung biaya maksimal untuk perawatan sesuai golongan pasien.
Besok (2 Februari 2011) saya direncanakan dioperasi jam 9 pagi, karena itu saya harus puasa 12 jam sebelum operasi. Paginya, setelah selesai mandi saya menuju ke ruang operasi. Sebelum masuk ke ruang operasi, saya harus menanggalkan semua pakaian termasuk pakaian dalam dan diganti dengan baju operasi.
Sebelum saya, sudah ada 1 orang pasien yang juga dioperasi karena geraham bungsu. Saya menunggu di depan pintu kamar operasi, mengintip pasien yang hampir selesai dioperasi itu. Banyak darah yang disedot dari rongga mulut, dan si pasien yang setengah sadar mengeluarkan suara seperti kesakitan. Ups, dan saya pun langsung ciut setelah dikasih tontonan gratis itu.
Tiba giliran saya, tepat jam 10 pagi sudah berbaring di meja operasi. Sambil menyuntikkan bius ke tabung infus, si perawat mengajak saya mengobrol. Tidak sampai 1 menit saya sudah tidak sadar. Ya, pencabutan 7 geraham dimulai. Sebenarnya yang terlihat dicabut itu hanya 3 geraham saja, karena geraham bungsu dari awal memang tidak kasat mata dan tidak muncul ke permukaan gusi.
Satu jam kemudian, operasi selesai. Dalam keadaan setengah sadar saya bisa pindah dari meja (tempat tidur) operasi ke tempat tidur pasien. Kata perawatnya, banyak darah yang keluar dari rongga mulut. Dua jam setelah operasi, saya belum merasakan sakit di rongga mulut, mungkin efek bius masih bekerja. Namun pembengkakan di pipi sudah mulai membesar. Dari artikel yang pernah saya baca, pembengkakan ini bisa berlangsung hingga 7 hari tergantung kondisi pasien. Pasien tidak perlu khawatir Karena pembengkakan bukan merupakan gejala infeksi dan pembengkakan ini akan hilang tanpa meninggalkan bekas. Pasien yang menjalani operasi gigi geraham bungsu cukup mendapat antibiotika, analgetik / penahan sakit dan obat anti inflamasi / anti radang. Selama pembengkakan pasien dapat makan (lunak), aktivitas sehari-hari seperti sekolah atau bekerja. Tapi tidak diperkenankan untuk olah raga terlebih dahulu. Setelah satu minggu benang jahitan dapat dibuka dan obat sudah dapat dihentikan. Karena rajin dikompres, saya hanya mengalami pembengkakan selama 4 hari.
Contoh : Gusi Dijahit Setelah Geraham Bungsu Dikeluarkan
Dari sini saya mengetahui bahwa pasien yang baru selesai dioperasi tidak boleh makan dan minum sebelum ia buang angin (kentut). Ini ada hubungannya dengan sisa bius di tubuh, jika tidak, ini bisa berdampak kematian. Jam 4 sore saya baru buang angin, dan mulailah sedikit demi sedikit minum air putih .
Tanggal 4 Februari saya keluar dari RS. Biaya pengobatan sebesar 3 Juta rupiah ditanggung oleh Askes. Sisanya harus saya bayar sendiri. Klaim yang cukup besar dari Askes ini tentulah sangat membantu.
Sebelum benang-benang jahitan dicabut dari bekas geraham tempat gigi tumbuh, saya hanya makan bubur nasi, minum susu dan sereal. Ini bertujuan agar rahang tidak banyak bekerja mengunyah makanan dan menghindari pendarahan pada sisi bekas operasi.  Sebelum benang dicabut, saya juga tidak boleh menggosok gigi, hanya diperbolehkan berkumur-kumur dengan antiseptic yang tidak membuat ngilu rongga mulut, seperti betadine obat kumur.
Tanggal 7 Februari atau lima hari setelah operasi saya kembali masuk kantor, tapi dengan menggunakan masker selama 2 hari karena masih ada sisa luka di rongga bibir dan mulut tidak nyaman karena sudah 7 hari tidak gosok gigi. Tanggal 9 Februari saya kembali ke rumah sakit untuk mencabut benang sisa operasi. Beberapa benang ada yang sudah menempel ke gusi dan bikin nyeri saat dicabut. Seminggu setelah benang dicabut, saya rutin ke dokter gigi untuk memeriksakan kondisi bekas luka operasi agar tidak terjadi infeksi.
Kata dokter gigi langganan saya, meskipun agak terlambat dicabut, saya sudah melakukan sebuah tindakan baik untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk dari pertumbuhan abnormal geraham bungsu. Sampai ini, keluhan sakit kepala yang dulu rutin saya rasakan tiap hari tidak pernah saya alami lagi, benar nyatanya itu muncul dari pertumbuhan abnormal geraham bungsu.

Jumat, 02 Maret 2012

Dhana Widyatmika, Lelaki di Pintu Surga

Ini dia Dhana Widyatmika, Lelaki dari Pintu Surga yang lagi di sorot karena rekening gendutny.

Dhana Widyatmika, Lelaki di Pintu Surga
tarbawi
Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya.
***
Ia membuat beberapa orang yang bergaul dengannya merasa iri. Sebagian berkomentar, lelaki muda itu telah dekat dengan pintu surga. Beberapa yang lain berpendapat, sungguh beruntung ia merawat ibunda tercinta dengan kualitas maksimal. Namun, Dhana Widyatmika (33 tahun), putra pertama dari Ibu Sundari (59 tahun) itu hanya berucap, apa yang ia lakukan biasa-biasa saja.
“Saya tidak pernah merasa ini sesuatu yang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini kewajiban. Saya yakin semua anak juga akan melakukan hal yang sama,” ucapnya.
Ditemui di sela-sela rutinitasnya menjaga dan menemani sang ibu yang dua kali dalam seminggu harus cuci darah, Dhana mengisahkan, selama tiga belas tahun ini, ibu menjadi prioritas utama dalam hidupnya.
Ujian Bertubi-tubi
Semua berawal ketika bulan Februari 1995, Ibu Sundari divonis gagal ginjal
“Ibu batuk-batuk, mual. Saya pikir sakit biasa. Waktu dibawa ke rumah sakit, kadar ureumnya di atas 300, padahal orang normal harus di bawah 40. Artinya racun dalam darah sudah menumpuk. Jadi harus langsung cuci darah. Saat itu, kadar hemoglobin (Hb) Ibu hanya 3,4 sehingga harus transfusi darah, padahal ketika itu bulan puasa, persediaan darah di PMI sangat terbatas sehingga harus mencari donor darahnya,” terang Dhana yang ketika itu masih duduk di tingkat dua sebuah sekolah tinggi di Jakarta.
Sesungguhnya rasa duka kehilangan almarhum ayah dua tahun sebelumnya masih membekas di hati Dhana. Baginya, kepergian ayah menghadap Sang Maha Kuasa bagaikan kiamat kecil. “Saya tidak menyangka. Bapak masih gagah, karir sedang posisi menanjak, dan saya baru masuk kuliah,” kenangnya.
Masih segar dalam ingatannya, hari  ketika ayahnya wafat. Dhana tengah sibuk mencari kaos kaki warna-warni di jatinegara sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di kampusnya. “Waktu pulang saya lihat orang ramai, ternyata Bapak meninggal. Sangat mendadak. Saya tidak siap, tapi harus siap. Sebenarnya juga tidak tabah. Apalagi dua tahun kemudian Ibu menderita sakit berat. Kalau bicara mental jatuh, ini jatuh yang kedua. Kok belum selesai musibah yang saya alami dua tahun belakangn ini,” tuturnya.
Kepergian ayah menjadikan sulung dari dua bersaudara yang baru saja lepas SMA itu berubah menjadi kepala keluarga. Tak heran jika dialah yang pertama diberitahu dokter tentang keharusan ibunya untuk cuci darah. Sebuah kabar yang tentu tidak mudah didengar. “Awalnya Ibu tidak tahu. Ibu pikir hanya sekali cuci darah, setelah itu sembuh. Dokter panggil saya, katanya ini harus rutin cuci darah. Saya kepala keluarga dan memang harus menanggung semuanya,” kenangnya.
Dhana sendiri, meski sangat sedih mendengar kondisi kesehatan ibunya, namun saat itu ia merasa optimis, penyakit Ibu akan sembuh dan keadaan akan membaik kembali. “Shock, tapi tidak berpikir bahwa ini tidak bisa sembuh. Saat itu saya tidak menyadari. Dokter juga tidak bilang secara gamblang kalau tidak bisa sembuh. Tahun pertama belum merasa bahwa ini akan menjadi rutinitas. Saya anggap nanti akan ada akhir untuk sembuh,” ujarnya.
Keyakinan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya menyemangati Dhana dan ibunya untuk tak henti-hentinya mencari penyembuhan, baik medis maupun obat alternatif.  Sejak 1995 hingga 2004, boleh dibilang semua pengobatan alternatif yang pernah dilihat di televisi pernah dicoba, namun hingga sekarang, ibunda Dhana tetap harus cuci darah.
Di awal mendengar vonis gagal ginjal, Ibu Sundari sempat mengalami masa-masa penolakan dan kesedihan. Penanganan cepat serta perawatan medis yang sangat memadai memang mampu mengembalikan kondisi fisiknya, kecuali ginjal. Namun keharusan cuci darah sangat menguras ketabahannya. Alhasil, di tahun pertama sejak ibunya sakit, Dhana lebih banyak mengerahkan segenap daya dan usaha untuk membantu mengangkat moril Sang Ibu.
“Secara fisik ibu agak bagus, tapi mentalnya down sekali. Setiap habis cuci darah, pulang, balik lagi ke rumah sakit. Lebih karena psikis. Kadang ada rasa tidak enak di badan, sampai di rumah sakit diperiksa dokter tidak ada apa-apa. Obatnya cuma istirahat. Ibu juga sering bertanya, kapan tidak cuci darah lagi,” tuturnya.
Selain stress karena sudah berusaha berbagai cara tapi tidak juga sembuh, proses cuci darah juga mengandung bagian yang cukup sakit dan menakutkan. “Ada saatnya Ibu merasa, ngapain hidup bergnatung mesin terus. Kalau besok mau dicuci sudah stress, memikirkan akan ditusuk jarum. Sampai sekarang pun Ibu masih selalu kesakitan waktu ditusuk. Saya sangat sedih melihatnya. Melihat orang yang saya cintai ,menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi saya. Tapi saya berusaha bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan Ibu.”
Konsentrasi Merawat Ibunda
Sadar kondisi ibunya sangat labil, Dhana memutuskan konsentrasi sepenuhnya untuk menemani Ibu menjalani berbagai proses pengobatan. Tiap hari, sepulang kuliah, Dhana langsung ke rumah sakit. Menghabiskan malam di lantai di bawah tempat tidur ibunya menjadi bagian pola kehidupan Dhana. Menurutnya, posisi di bawah tempat tidur membuatnya cepat mengetahui kalau ada apa-apa. Pagi-pagi biasanya ia pulang sebentar sekadar berganti baju dan membersihkan badan, lalu kuliah. “Saya punya kos, tapi tidak pernah saya tinggali karena kondisi ibu sangat tidak stabil. Selama kuliah tidak sempat bersosialisasi dengan teman-teman karena waktunya tidak memungkinkan. Saya lebih banyak ke Ibu. Saya hanya meninggalkan Ibu ketika kuliah,” tuturnya.
Pilihan untuk mendahulukan Ibu di atas semua urusan lainnya, secara logika, sebenarnya tidak selalu mudah bagi Dhana, yang kebetulan kuliah di sekolah yang lumayan ketat dalam kedisiplinan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara – Red. Fimadani). Ketika kondisi ibunya sedang sangat menurun, Dhana memilih tidka kuliah agar bisa menemani ibunya. Keputusan itu, bukan hanya melewatkan kesempatan mendengar materi kuliah langsung dari dosen, tapi juga membuatnya kesulitan mencapai batas absen yang diijinkan.
“Kuliah tidak masuk, saya tidak peduli. Saya lebih baik drop out daripada harus meninggalkan ibu saya. Itu yang saya yakini. Boleh dibilang saya tidak pernah belajar meski saat ujian. Bukan karena sombong, tapi memang tidak sempat. Saya sadar risikonya dan juga siap menanggungnya. Tidak pernah ada konflik batin ketika memutuskan itu. Prioritas saya untuk Ibu. Saya tidak pernah sedikitpun khawatir, bagaimana masa depan saya, bagaiman alau tidak lulus atau drop out. Terserah deh, hidup saya mau dibawa kemana. Saya ikut saja. Saya hanya berpikir bagaimana Ibu bisa nyaman, bisa tertolong dari kondisi ini,” jelasnya.
Dhana bersyukur karena ia sama sekali tidak ragu dan yakin menjalani keputusan mengesampingkan kuliah untuk merawat ibunya. Ia merasa, Allah yang membuat hatinya mantap. Selain itu ia berusaha melaksanakan pesan Ayah agar dia menjadi lelaki yang mampu bertnaggungjawab. Dhana mengenang, ketika ia memijit ayahnya, beliau berpesan, “Jika nanti ada sesuatu yang buruk menimpa keluarga, kaulah yang harus menggantikan tugas Bapak, dan kamu harus siap.”
“Saya pikir itu pembicaraan biasa. Saat Bapak meninggal, saya jadi ingat sekali pesan itu. Ketika Ibu sakit, saya semakin yakin, ini yang dimaksud Bapak. Mungkin pesan itu yang membantu saya untuk prioritas ke Ibu. Hanya Ibu, tidak ada hal lain yang saya pikirkan. Saya tahu, saya juga punya kehidupan sendiri yang harus saya tata, tapi saya yakin, saya tidak salah meninggalkan masa depan dan meilih Ibu. Itu keputusan dan komitmen saya. Biarlah masa depan tidak jelas, yang penting saya puas bisa mengabdikan diri pada orang tua,” ucapnya.
Usaha mencari kesembuhan fisik serta menjaga mental ibunya gar terus emangat menjalani pengobatan dilakukan Dhana tanpa henti. “Saya tidak pernah putus asa. Saya menikmati saja. Bahkan saya banyak belajar dari semua ini. Saya coba resapi. Pelajaran yang palin besar itu kesabaran. Kondisi ini membuat saya harus banyak mengalah, bersabar, dan menerima. Ini pasti ada maksudnya, ada hikmahnya,” ujarnya.
Pertolongan Allah itu Indah
Di tengah berbagai usaha yang menguras tenaga, waktu, dan tentu juga uang, Dhana justru kian merasakan betapa banyak kemudahan tak terduga. “Banyak hal aneh yang saya rasa kayaknya tidak mungkin kalau saya balik lagi, kondisi itu akan terjadi lagi,” kenangnya.
Dhana yang sering bolos kuliah, akhirnya harus menerima risiko tidak diperbolehkan mengikuti ujian oleh dosen yang kebetulan dikenal sangat disiplin dan tidak gemar menerima alasan apapun dari mahasiswa yang sering tidak hadir kuliah. “Saya mengahdap dosen itu, saya belum ngomong apa-apa, dia bilang, ya sudah ikut ujian saja. Banyak pertolongan di luar dugaan. Masalah obat juga. Ibu sangat membutuhkan obat, tapi kebetulan stock habis. Cari kemana-mana tidak ada, padahal ibu sangat membutuhkan dan harus cepat. Saya kirim kabar ke banyak kenalan, tidak lama ada yang memberitahu ada obat. gampang sekali,” tuturnya.
Selain itu, Dhana yang memutuskan tidak peduli masa depan asalkan ibunya bisa mendapatkan perawatan, obat dan segala yang terbaik, akhirnya bukan hanya mampu menyelesaikan sekolahnya hingga Pasca Sarjana, namun juga dalam kondisi yang sangat baik di pekerjaan maupun bisnis keluarga yang dikelolanya. “Saya merasa, ternyata ada yang menjaa saya. Kuliah bisa selesai tepat waktu, usaha membesar, dan banyak hal lainnya. Semua kemudahan itu, saya pikir justru tidak bisa saya dapatkan kalau kondisi saya normal-normal saja. Buat orang lain mungkin biasa saja, tapi bagi saya tidak. Ini Allah yang kasih,” ujarnya.
Semua kenyataan itu, ditambah dengan keyakinan pada ajaran agama yang memang memerintahkan agar setiap anak berbakti pada ibunya kian menguatkan Dhana untuk terus memegang komitmennya, mendahulukan kepentingan Ibu di atas semua urusan lainnya, termasuk memberi pengertian istri, kalau ada apa-apa antara Ibu dan istri, maka dia akan mendahulukan ibunya. “Saya sangat bersyukur diberikan pendamping seorang istri yang sangat mengerti dan memahami keadaan saya. Saya juga kadang-kadang bersenang-senang dan pergi ke mall, tapi pikiran terus terkoneksi dengan Ibu. Ketika sedang nonton, Ibu telepeon, saya bilang sedang di luar dan sebentar lagi pulang. Dan saya memang langsung pulang,” ucapnya.
Urusan Dunia pun Dipermudah
Soal bisnis, sudah biasa bagi Dhana untuk menjadwal ulang atau bahkan membatalkan pertemuan apapun, bila bersamaan dengan jadwal cuci darah ibunya. “Saya tidak peduli kehilangan kesempatan. Malah saya pikir itu lebih bagus. Daripada saya paksakan nanti malah kepikiran,” ujarnya.
Lagi-lagi kemudahan tak terduga juga kembali dirasakan Dhana ketika ia menunda sebuah pertemuan yang diprediksi akan mengalirkan keuntungan finansial dalam jumlah lumayan. Penundaan itu membuat rekan bisnisnya merasa heran dan mendesak ingin tahu penyebabnya. Dhana yang sebenarnya tidak gemar menceritakan kondisi keluarga akhirnya menjelaskan kalau hari itu dia harus mengantar ibunya cuci darah. Tak diduga, rekan bisnis itu malah sangat bersimpati dan hal itu mempermudah hubungan bisnis mereka karena dia merasa orang yang pedulidengan ibunya berarti juga orang yang bisa dipercaya.
Keseriusan Dhana menyesuaikan aktifitasnya dengan kondisi Ibu tidak berarti ia tidak smepat kemana-mana. Ke luar kota, bahkan ke lar negeri juga masih dilakukannya meski dengan berbagai persiapan ekstra. Jauh hari sebelum keberangkatan, ia berusaha maksimal agar kondisi Ibu dalam keadaan prima selama hari-hari kepergiaannya. “Kalau kondisi tidak bagus, saya tidak jadi pergi. Saya siapkan kandidat. tante saya datangkan seminggu sebelum berangkat. Saya training dulu. ketika ibu sudah merasa nyaman, baru saya tinggal,” turutnya.
Menampung Berak Ibunda dengan Kedua Tangan
Bagaimana supaya ibunya lebih nyaman, lebih bisa menikmati hidup, dan berkurang rasa sakitnya terus menjadi pusat pemikiran Dhana. Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya. “Saya biasa lihat kotoran Ibu. Dari baunya segala macam, saya bisa tahu apa makanan yang dimakannya. Warnanya kalau begini gimana, kalau ada darahnya berarti ambeien ibu sedang sedang kumat. Jadi, sekaligus memantau. Saya bilang ke pembantu, nggak apa-apa kamu jijik, itu memang bukan pekerjaan kamu, biar saya saja,” ujarnya.
Dhana menambahkan, selain agar ibunya nyaman, ia rela melakukan itu karena ia terpikir betapa dulu waktu masih kecil, ibunya juga sering melakukan hal serupa, bahkan mungkin lebih. “Ingatan dulu ibu juga melakukan ini sangat memotivasi saya. Ibu saya, melakukan lebih dibanding yang sekarang saya lakukan. kasih ibu itu luar biasa,” tuturnya.
Demi Kebahagiaan Ibunda
Ia juga mendukung sepenuhnya, dan menyediakan sarana maksimal, ketika Ibunya berniat kuliah di sebuah universitas islam untuk memperdalam agama. Bukan hanya menyediakan mobil dan sopir untuk antar jemput, namun  ia juga kerap menemani ibunya terutama bila kesehatannya sedang menurun, tapi sang ibu tetap ingin kuliah.
Ketika kondisinya kian menurun, dan kemudian Ibu yang terbiasa aktif fan enerjik itu tidak bisa berjalan lagi, Dhana menelepon teman-teman kuliah ibunya agar mereka memindahkan kuliah ke rumahnya. Sejak itu, tiap hari Senin, ibu dan teman-temannya mengadakan pengajian di kediaman keluarganya di bilangan Jatiwaringin, Jakarta Timur.
“Ketika akhirnya bisa berjalan, Ibu drop lagi. Saya bilang, Ibu cuma tidak bisa jalan. Tapi yang lain tidak sakit. Tapi memang perlu waktu. Ada tindakan lain juga. Saya lebih intens bersama ibu. Saya pulang cepat. Saya tanya mau makan apa. Kalau ibu ingin sesuatu, secepatnya saya usahakan terpenuhi. Itu akhirnya bisa menaikkan mental lagi,” ujarnya.
Dhana mengakui, boleh dibilang ia over protective terhadap ibundanya. Saking inginnya sang ibu tetap nyaman dalam perjalanan, ia memilih membawa ibunya dengan ambulans untuk pulang pergi cuci darah meski sesungguhnya masih bisa duduk. Lagi-lagi dengan harapan ibunya akan lebih nyaman dan berkurang rasa sakitnya.
Ia sendiri yang menggendong Ibu dari ambulans ke tempat tidur dan sebaliknya. Ia juga dengan teliti menyiapkan sprei dan bantal sendiri untuk ibunya selama berada di ruang cuci darah yang berlangsung sekitar lima jam. Selama wawancara dengan Tarbawi pun, berkali-kali sempat terputus karena Dhana sibuk menggaruk dan mengusap bagian mana pun dari tubuh ibunya yang gatal, yang karena dalam posisi berbaring agak susah dilakukan sendiri oleh Ibu Sundari. Semuanya ia lakukan dengan lembut dan wajah cerah.
Kesyukuran dan Kesabaran
Kini sudah tiga belas tahun Dhana mengarungi hari-hari yang sepenuhnya ia persembahkan untuk Ibunya. Ia mengungkapkan dari seluruh kejadian yang ia alami, satu-satunya yang membuatnya stress dan sedih adalah ketika menyaksikan ibunya kesakitan. “Saya tidak tega melihat ibu sakit. Kalau bisa saya gantikan sakitnya, saya akan gantikan,” ujarnya.
Dhana mengakui, ia selalu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kondisi ibunya tidak menurun, dan karena itu , ia berharap Tuhan belum akan memanggil ibunya. “Secara fisik ya, dulu bisa berjalan sekarang tidak. Saya punya keyakinan, itu hanya masalah tulang saja. Tapi oragn-organnya selain ginjal baik. Saya selalu minta cek keseluruhan sebulan sekali,” ucapnya.
Menghabiskan belasan tahun mengabdi pada Ibu bukan berarti Dhana telah puas membahagiakan perempuan yang melahirkannya itu. Ia merasa masih ada keinginan Ibu yang belum bisa dipenuhinya, yaitu mendapatkan cucu dari Dhana yang telah menikah namun belum dikaruniai momongan.
Di mata Dhana, Ibu yang kini kerap digendongnya untuk dipindahkan dari tempat tidur ke tempat tidur yang lain tetap sosok yang luar biasa yang dicintai sekaligus dikaguminya. ia selalu teringat, ketika ayahnya wafat, ibunya begitu tabah, bahkan sempat mencoba berbisnis serta melakukan berbagai hal untuk melindungi masa depan kedua putranya, sebelum akhirnya jatuh sakit.
Selain tegar dan penuh cinta kepada kedua putranya, Dhana juga mengagumi kataatan Ibunya menjalankan ibadah. Meski sambil berbaring, ibunya tidak pernah putus shalat, bahkan mampu membaca Al Quran setiap hari. “Ibu punya energi untuk melakukan ibadah yang saya tidak miliki. Itu yang saya kagumi karena saya belum memiliki ketaatan seperti yang dimiliki Ibu. Itu mempengaruhi saya untuk dekat sama Allah. Saya seperti ini karena doa beliau,” tuturnya.
Dhana yakin, ia menjadi seperti sekarang ini, dimudahkan dalam banyak urusan kerja maupun lainnya, semua berkat da dari ibunya. “Saya merasa doanya itu luar biasa melindungi saya. Ridha Ibu itu nomor satu. Meski dalam kondisi sakit, berkah dari ridha Ibu tidak berubah. Misalnya sama Ibu sedang tidak enak, tegang, saya tidak berangkat ke kantor atau meninggalkan Ibu sebelum masalah clear. Ibu harus tertawa dulu atau tenang. paling tidak sudah bisa memaafkan saya, baru bisa enak berangkat kerja,” tandasnya.
Namun ia mengakui, bertambahnya usia memang ada hal-hal yang dia lakukan untuk melindungi ibunya. Bila dulu semasa kecil atau remaja dia sering menceritakan segala kesulitan pada Ibu, kini dia memilih untuk menyeleksi ketika hendak menceritakan masalahnya. “Kalau saya sednag ada masalah, paling saya bilang, doain ya, Bu. Saya hanya cerita detail untuk hal yang menyenangkan,” turutnya.
Berulangkali Dhana menyatakan rasa syukur karena ketika ibunya jatuh sakit belasan tahun sailam, ia menetapkan prinsip untuk menempatkan Ibu sebagai prioritas dalam hidupnya. “Say bersyukur karena telah mengambil langkah yang tepat. Kalau saya pilih masa depan, masa depan belum tentu dapat dan saya kehilangan sesuatu yang harusnya saya lakukan. Saya bersyukur, sangat bersyukur dengan kondisi seperti ini. Orang lain mungkin bilang kasihan, tapi saya bersyukur,” ujarnya.
Bagi Dhana, berlelah-lelah, dalam suka dan duka merawat Ibu, akhirnya membuahkan banyak pelajaran tentang kehidupan. Kesabaran, penerimaan, semua itu begitu dalam maknanya bagi Dhana. kesabaran pula lah, salah satu pelajaran berharga yang diakuinya turut memperbaiki kualitas dunia batinnya yang membuat nya merasa telah menjalani hidup penuh arti. Perjalanan hidup yang tak sekadar mengikuti proses biologis, namun juga menjadi perjalanan menuju pemahaman hakikat hidup dan juga hakikat mati.
disalin dari Majalah Tarbawi Edisi 164 Th.8/Ramadhan 1428 H/21 September 2007 M