Senin, 12 September 2011

Cara Tuhan

inggu, 07 Juni 2009 11:01:00 WIB
kick andyMalam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya. Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya untuk proses operasi tersebut.
Soal persetujuan, relatif mudah. Sejak awal saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk itu.
Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus menghidupi keluarga dengan tiga anak.
Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.
Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. Seandainya kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi tidak tertolong lagi. Saya menyesali tindakan kakak saya yang “menyembunyikan” penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan -- setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya.
Namun ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan dokter untuk biaya operasi. Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat dokter menganjurkan operasi. “Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada jaminan saya akan terus hidup,” ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu, saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.
Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. “Tuhan, sebagai manusia, akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini.” Setelah itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.
Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup kuat sehingga masih saja gundah.
Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan terpaksa menelepon saya karena “keadaan darurat”. Pembicara yang seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya.
Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara lagi untuk acara-acara mereka yang lain.
Sebelum meninggalkan tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya.
Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu.
Malam hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. Tuhan, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar. Dengan cara-Mu Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib.
Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan.
Tidak cukup sampai di situ. Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya.
Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia tanggung. Tuhan Maha Besar. 

Keindahan Memberi

Kamis, 30 Juni 2011 17:45:00 WIB

kick andy“Selamat siang Pak Andy. Saya Puri. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuannya bagi operasi tumor otak saya. Semoga Tuhan memberkati Bapak. Puri”. SMS itu saya terima suatu siang. Saya belum pernah bertemu Puri. Saya kenal namanya melalui dr. Eka Julianta, ahli bedah syaraf di RS Siloam Gleneagles Karawaci. Begitu juga wajahnya saya kenali hanya melalui foto yang dikirim dr. Eka. Di foto itu tampak seorang gadis tergolek di ranjang rumah sakit dengan kepala masih dibalut perban. Dia baru selesai dioperasi dan masih mengenakan baju rumah sakit. Ada senyum tipis di bibirnya. Itu saja.
Pada saat itu dr Eka melaporkan operasi terhadap Puri berjalan baik walau tidak seideal yang diharapkan tim dokter. Pasalnya, kondisi Puri sudah sangat berat karena tumor otaknya selama bertahun-tahun dibiarkan tanpa pengobatan memadai. Kemiskinan dan persoalan keluarga menyebabkan penyakit Puri tidak mendapat penanganan semestinya.
Selang beberapa hari setelah menerima foto dari dr Eka, saya mendapat SMS dari ayah Puri. Dia mengucapkan terima kasih karena saya sudah membantu mencari biaya operasi bagi putrinya. Saya katakan saya hanya “jembatan” untuk mempertemukan Puri dengan orang yang bisa membantu dia. Kemudian saya menyebut nama orang yang memberi bantuan biaya operasi untuk Puri.
Setelah itu, saya tidak lagi mendapat kabar tentang Puri. Saya sendiri kembali tenggelam dalam kesibukan. Saya baru teringat kembali pada gadis berusia 21 tahun itu ketika menerima SMS darinya. Pesan singkat itu mengingatkan saya kembali pada kasus yang dihadapi Puri tiga bulan lalu.
Waktu itu, saya mendapat SMS dari dr Eka yang mengabarkan ada pasien bernama Puri membutuhkan bantuan. “Semua biaya dokter gratis. Puri hanya perlu biaya obat-obatan,” tulis dr Eka dalam pesan singkatnya. Dia lalu menyebut jumlah biaya yang dibutuhkan. “Kondisinya sudah gawat. Perlu segera dioperasi. Jika terlambat nyawanya terancam,” dokter Eka menambahkan.
Walau biaya dokter dibebaskan dan rumah sakit tidak perlu dibayar sepenuhnya, biaya operasi tumor otak tetaplah tidak murah, sekitar Rp 40 juta. Setelah menerima SMS dr Eka, saya mencoba memikirkan kepada siapa saya bisa meminta bantuan dana untuk operasi Puri.
Pada waktu itu, yang terlintas wajah seorang pengusaha jamu asal Jawa Tengah. Tapi saya merasa tidak enak hati untuk menghubunginya, mengingat selama ini saya sudah sering meminta bantuan sang pengusaha jamu ini. Terakhir saya meminta bantuannya untuk membelikan kacamata baca untuk anak-anak SD Kampung Dadap, Tangerang, yang baru saja menjalani pemeriksaan mata gratis yang saya selenggarakan di kampung itu. Maka, keinginan untuk meminta bantuan sang pengusaha tersebut saya batalkan. Ada beberapa nama pengusaha dan yayasan yang kemudian muncul dikepala saya, yang saya harapkan bisa membantu biaya operasi Puri. Saya akan menghubungi satu per satu besok.
Boleh percaya boleh tidak, esok pagi, ketika baru bangun tidur, di layar handphone saya ada tanda misscalled empat kali dari pengusaha jamu kenalan saya. Ketika saya telepon balik, dia mengatakan baru saja melihat promo Majalah Kick Andy di Metro TV dan ingin memasang iklan produk jamunya di majalah tersebut. Itu alasan dia menelepon saya pagi-pagi.
Di ujung pembicaraan, secara spontan saya menceritakan kisah Puri yang membutuhkan biaya untuk operasi. Kepadanya saya jelaskan saat itu tim dokter sedang berburu dengan waktu mengingat kondisi Puri cukup parah. Tanpa banyak tanya, dia langsung menyatakan setuju membantu biaya operasi. “Berapa pun biayanya, saya yang tanggung,” ujarnya.
Dia lalu berjanji akan meminta stafnya menindaklanjuti pembicaraan kami itu. Pada saat yang sama terlintas di kepala saya wajah Priska, perempuan tunanetra di Semarang. Priska pernah mendapat penghargaan Kick Andy Hero Award. Dalam keterbatasannya, bersama suaminya Priska menampung dan mengasuh lebih dari seratus anak yatim piatu, anak jalanan, dan anak-anak cacat. Padahal secara fisik dan ekonomi, Priska justru seharusnya yang dibantu.
Kepada sang pengusaha, saya ceritakan kisah Priska. “Apa mungkin Priska juga dibantu?” Tanya saya. Dengan bersemangat sang pengusaha meminta alamat dan nomor telepon Priska. Seminggu kemudian saya mendapat  kabar Priska sudah menerima bantuan Rp 100 juta. Tuhan Maha Besar.
Jujur saja, saat meminta bantuan untuk Puri dan Priska waktu itu, saya merasa tidak enak hati terhadap pengusaha jamu kenalan saya itu. Kepadanya saya berkali-kali meminta maaf karena sering merepotkan dia dengan permintaan-permintaan bantuan untuk orang-orang yang membutuhkan.
Saya semakin merasa tidak enak karena selama ini pengusaha tersebut meminta saya untuk menjadi bintang iklan produk jamunya. Tetapi saya selalu menolak. Selama setahun lebih dia terus membujuk untuk meyakinkan saya bahwa iklan promo tersebut akan disesuaikan dengan misi Kick Andy dan tidak dibuat dengan cara yang komersial. Tapi dengan cara halus saya selalu menghindar.
Bahkan ketika perusahaan tersebut berhasil mengajak mantan wakil presiden dan seorang tokoh ekonomi membintangi produk jamu tersebut, dia kembali “merayu” kesediaan saya. “Saya akan buatkan iklan yang berkelas untuk Anda. Seperti yang saya buat sekarang ini,” ujarnya sambil menunjuk iklan yang mereka buat untuk dua tokoh tadi. Saya tetap mengelak dan mengatakan bahwa sejak awal saya sudah berkomitmen pada diri saya untuk tidak menjadi iklan untuk produk komersial. Saya ingin agar saya dan Kick Andy menjadi milik semua orang. Dengan demikian saya akan lebih leluasa menjalankan kegiatan sosial melalui Kick Andy Foundation.
Nah, dalam situasi selalu menolak permintaannya, sebaliknya saya justru sering meminta bantuannya untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Selain merasa tidak enak hati, saya juga khawatir permintaan saya yang terlalu sering itu akan menjadi beban baginya.
“Salah kalau Anda menganggap saya terbebani,” ujar sang pengusaha ketika saya menyampaikan kekhawatiran tersebut. “Bagi saya permintaan Anda itu justru sebuah opportunity. Tidak semua orang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membantu orang lain,” ujarnya. “Melalui Anda, Tuhan memberi saya kesempatan untuk menolong orang,” dia menambahkan.
Pengusaha tersebut lalu mengatakan dia justru berterima kasih kepada saya karena memberi peluang untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. “Mungkin orang lain merasa terbebani, tapi saya sebaliknya. Saya merasa ini kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya untuk berbuat baik.”
Saya tercenung mendengar penjelasannya. Tidak terpikirkan ada orang yang merasa menolong orang lain adalah kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Kesempatan untuk berbuat baik pada orang-orang yang membutuhkan. Sekali lagi saya mendapat pelajaran tentang  keindahan memberi. Terima kasih Tuhan.
SUMBER: