Selasa, 29 Juni 2010

ISTRIKU… AKU MENCINTAIMU

14 Mei 2010 jam 10:07

Kendati dirinya telah keliling dunia, bahkan hampir tidak ada negara baru di dalam peta, dan terlalu sering naik pesawat terbang sehingga seperti naik mobil biasa, namun istrinya belum pernah naik pesawat terbang kecuali pada malam itu. Hal itu terjadi setelah 20 tahun pernikahan mereka. Dari mana? Dan kemana? Dari Dahran ke Riyadh. Dengan siapa? Dengan adiknya yang orang desa dan bersahaja yang merasa dirinya harus menyenangkan hati kakaknya dengan semampunya. Ia membawa wanita itu dengan mobil bututnya dari Riyadh menuju Dammam. Pada waktu pulang, wanita itu berharap kepadanya agar ia naik pesawat terbang. Wanita itu ingin naik pesawat terbang sebelum meninggal. Ia ingin naik pesawat terbang yang selalu dinaiki Khalid, suaminya, dan yang ia lihat di langit dan di televisi.

Sang adik mengabulkan keinginannya dan membeli tiket untuknya. Ia menyertakan putranya sebagai mahramnya. Sementra ia pulang sendirian dengan mobil sambil diguncang oleh perasaan dan mobilnya.
Malam itu Sarah tidak tidur, melainkan bercerita kepada suaminya, Khalid, selama satu jam tentang pesawat terbang. Ia bercerita tentang pintu masuknya, tempat duduknya, penerangannya, kemegahannya, hidangannya, dan bagaimana pesawat itu terbang di udara. Terbang!! Ia bercerita sambil tercengang. Seolah-olah ia baru datang dari planet lain. Tercengang, terkesima, dan berbinar-binar. Sementara suaminya memandanginya dengan perasaan heran. Begitu selesai bercerita tentang pesawat terbang, ia langsung bercerita tentang kota Dammam dan perjalanan ke sana dari awal sampai akhir. Juga tentang laut yang baru pertama kali dilihatnya sepanjang hidupnya. Dan juga tentang jalan yang panjang dan indah antara Riyadh dan Dammam saat ia berangkat. Sedangkan saat pulang ia naik pesawat terbang. Pesawat terbang yang tidak akan pernah ia lupakan unuk selama-lamanya.

Ia berlutut seperti bocah kecil yang melihat kota-kota hiburan terbesar untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Ia mulai bercerita kepada suaminya dengan mata yang berbinar penuh ketakjuban dan kebahagiaan. Ia melihat jalan raya, pusat perbelanjaan, manusia, batu, pasir, dan restoran. Juga bagaimana laut berombak dan berbuih bagaikan onta yang berjalan. Dan bagaimana ia meletakkan kedua tangannya di air laut dan ia pun mencicipinya. Ternyata asin… asin. Pun, ia bercerita bagaimana laut tampak hitam di siang hari dan tampak biru di malam hari. “Aku melihat ikan, Khalid! Aku melihatnya dengan mata kepalaku. Aku mendekat ke pantai. Adikku menangkap seekor ikan untukku, tapi aku kasihan padanya dan kulepaskan lagi ke air.

Ikan itu kecil dan lemah. Aku kasihan pada ibunya dan juga padanya. Seandainya aku tidak malu, Khalid, pasti aku membangun rumah-rumahan di tepi laut itu. Aku melihat anak-anak membangun rumah-rumahan di sana. Oh ya, aku lupa, Khalid!” ia langsung bangkit, lalu mengambil tasnya, dan membukanya. Ia mengeluarkan sebotol parfum dan memberikannya kepada sang suami. Ia merasa seolah-olah sedang memberikan dunia. Ia berkata, “Ini hadiah untukmu dariku. Aku juga membawakanmu sandal untuk kau pakai di kamar mandi.”

Air mata hampir menetes dari mata Khalid untuk pertama kali. Untuk pertama kalinya dalam hubungannya dengan Sarah dan perkawinannya dengan sang istri. Ia sudah berkeliling dunia tapi tidak pernah sekalipun memberikan hadiah kepada sang istri. Ia sudah naik sebagian besar maskapai penerbangan di dunia, tapi tidak pernah sekalipun mengajak sang istri pergi bersamanya. Karena, ia mengira bahwa wanita itu bodoh dan buta huruf. Apa perlunya melihat dunia dan bepergian? Mengapa ia harus mengajaknya pergi bersama?

Ia lupa bahwa wanita itu adalah manusia. Manusia dari awal sampai akhir. Dan kemanusiaannya sekarang tengah bersinar di hadapannya dan bergejolak di dalam hatinya. Ia melihat istrinya membawakan hadiah untuknya dan tidak melupakannya. Betapa besarnya perbedaan antara uang yang ia berikan kepada istrinya saat ia berangkat bepergian atau pulang dengan hadiah yang diberikan sang istri kepadanya dalam perjalanan satu-satunya dan yatim yang dilakukan sang istri. Bagi Khalid, sandal pemberian sang istri itu setara dengan semua uang yang pernah ia berikan kepadanya. Karena uang dari suami adalah kewajiban, sedangkan hadiah adalah sesuatu yang lain. Ia merasakan kesedihan tengah meremas hatinya sambil melihat wanita yang penyabar itu. Wanita yang selalu mencuci bajunya, menyiapkan piringnya, melahirkan anak-anaknya, mendampingi hidupnya dan tidak tidur saat ia sakit. Wanita itu seolah-olah baru pertama kali melihat dunia. Tidak pernah terlintas di benak wanita itu untuk mengatakan kepadanya, “Ajaklah aku pergi bersamamu!” Atau bahkan, “Mengapa ia tidak pernah bepergian?” Karena ia adalah wanita miskin yang melihat suaminya di atas, karena pendidikannya, wawasannya, dan kedermawanannya. Tapi ternyata bagi Khalid, semua itu kini menjadi hampa, tanpa rasa dan tanpa hati. Ia merasa bahwa dirinya telah memenjara seorang wanita yang tidak berdosa selama 20 tahun yang hari-harinya berjalan monoton.

Kemudian, Khalid mengangkat tangannya ke matanya untuk menutupi air matanya yang nyaris tak tertahan. Dan ia mengucapkan satu kata kepada istrinya. Satu kata yang diucapkannya untuk pertama kalinya dalam hidupnya dan tidak pernah terbayang di dalam benaknya bahwa ia akan mengatakannya sampai kapan pun. Ia berkata kepada istrinya, “Aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dari lubuk hatinya.

Kedua tangan sang istri berhenti membolak-balik tas itu. Mulutnya pun berhenti bercerita. Ia merasa bahwa dirinya telah masuk ke dalam perjalanan lain yang lebih menakjubkan dan lebih nikmat daripada kota Dammam, laut, dan pesawat terbang. Yaitu, perjalanan cinta yang baru dimulai setelah 20 tahun menikah. Perjalanan yang dimulai dengan satu kata. Satu kata yang jujur. Ia pun menangis tersedu-sedu.

(diambil dari catatan al akh abu Ibni Ummihi)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=388645287465

Sabtu, 19 Juni 2010

Ibu.. Aku Hanya Ingin Dipahami

::bagi orang tua yang memiliki anak berpotensi otak kanan..

Oleh : Muliadi Saleh

Ibu,
Bukannya aku malas dan suka melamun, tapi aku lagi menyiapkan diriku menerima seluruh keindahan alam semesta. Beri aku kesempatan berdiam sejenak karena gambar-gambar kehidupan yang sedang kurekam akan membuatku bisa memahami simfoni dan harmoni. Ingin sekali aku menciptakan melodi yang indah agar Ibu bisa menikmatinya sambil membuatkan aku masakan yang enak.

Ibu,
Bukannya aku tak bisa menjumlah 2 + 0 + 4, tapi aku lagi melihat seekor bebek berenang di kolam yang indah dengan deretan kursi cantik di sekelilingnya. Beri aku kesempatan merekamnya di alam kesadaranku karena ingin sekali aku membuatkan Ibu sebuah kolam renang yang indah dan kita duduk bersama di kursi yang empuk dan cantik sambil menikmati bahagianya bebek berenang.
Ibu,
Bukannya aku tak mau mendengar dan menatap mata Ibu ketika dongeng-dongeng itu dibacakan dan lagu nina bobo dinyanyikan, tapi aku lagi merasakan indahnya suara Ibu berpadu dengan suara-suara lain di kamar ini. Beri aku kesempatan menikmatinya karena suatu hari nanti akan kubuatkan sebuah ruangan agar Ibu bisa menyanyi dan mengaji. Di Ruangan itu kita bisa bernyanyi bersama dan selalu bisa kunikmati suara Ibu yang merdu melantunkan ayat-ayatNya.
Ibu,
Bukannya aku tak bisa membaca kata demi kata yang ibu ajarkan, tapi aku lagi merekam taburan kata-kata agar terangkai sebuah kalimat yang indah, layak dan sopan. Beri aku kesempatan melihat kata-kata itu saling merangkai, karena aku ingin menulis sebuah puisi yang indah yang spesial untuk aku persembahkan di hari ulang tahun Ibu.
Ibuku Sayang,
Kalau Ibu marah dan mencubit, tangis dan air mataku itu bukanlah karena aku benci atau marah. Aku hanya sedih jika cubitan dan amarah Ibu mengikis rasa sayang, cinta, dan potensiku untuk menghadiahi Ibu sebuah rumah mungil dengan kolam renang, ruang bernyanyi dan dapur yang indah. Dan hatiku akan sangat menyesal jika tak tak sanggup merangkai dan membacakan puisi indah di hari spesial Ibu. Karena bagiku : IBU ADALAH SEGALANYA.

Jakarta, 19 Juni 2010

Muliadi Saleh

(dimuat di :http://ayahkita.blogspot.com/)

Ulat dan Kaktus

Pada suatu hari ada seorang ibu yang membeli beberapa pohon bunga yang ada di pot. Bunga itu diletakkan di halaman rumah untuk menambah ke asrian dan keindahan rumahnya. Sambil berkata kecil dalam hati, ibu ini berdoa pada Tuhan, Ya Tuhan...Melalui bunga-bunga ini semoga nanti akan banyak berdatangan kupu-kupu indah kerumahku...

Lalu si ibu ini kembali lagi pada kesibukannya sehari-harinya, setelah seminggu berselang ia menunggu dan menunggu, mengapa tidak juga ada kupu-kupu yang ia lihat dihalaman rumahnya tersebut. Hingga suatu hari betapa kagetnya si Ibu mendapati bahwa bukannya kupu-kupu yang datang tapi malah Ulat bulu yang merambat pada pohon-pohon yang dibelinya itu.

Bukan main marahnya....dan saking kesalnya si ibu ini dengan keras berkata....bagaimana sich Tuhan ini... lah wong yang saya minta adalah kupu-kupu yang cantik, eh yang datang malah ulat-ulat jelek seperti ini. Sambil terus mengumpat, pot-pot bunga yang penuh dengan ulat bulu itu akhirnya dipindahkan dari taman ke tempat tersembunyi di dalam gudang.

Sebulan sudah berselang, dan ibu tersebut telah melupkan kejadian pohon-pohon di pot yang dipenuhi ulat bulu tersebut.

Dan tepat di hari yang ke 30 sejak kejadian tersebut, si ibu rupanya sedang mencari peralatan tamannya yang rupanya lupa ia taruh di gudang. Dan ketika ia membuka pintu gudang, betapa kagetnya, ia melihat begitu banyak kupu-kupu yang berwarna-warni dan sangat indah memenuhi gudang tersebut. Kupu-kupu itu satu demi satu mulai berterbangan keluar pada saat pintu gudang dibuka...untuk mencari bunga-bungaan disekitarnya.

Terang saja kejadian yang luar biasa ini telah membuat si ibu tadi menjadi diam tertegun, ia tidak bisa berkata-kata lagi, melainkan hanya memandangi satu persatu kupu-kupu yang keluar dari gudang menuju tamannya. Dan tanpa sadar kakinya bergerak melangkah mengikuti arah kupu-kupu tadi terbang.

Alangkah Indahnya tamanku saat ini.....si ibu berujar dalam hati...., Ya Tuhan.....ternyata ulat bulu yang dulu jelek itu kini telah berubah menjadi seekor kupu-kupu yang begitu cantik dan menawan. Seandainya saja dulu aku tahu.......katanya dalam hati...mungkin aku tidak akan pernah mengeluh dan merasa terusik dengan keberadaan mereka.

Wahai...para orang tua yang berbahagia dimanapun anda berada..., begitulah kita para orang tua dan guru pada umumnya, sering kali melihat dan menilai anak-anak kita bak ulat bulu, yang mengganggu dan membuat kita gatal untuk selalu mengeluh, marah dan berusaha menyingkirkan mereka.

Anak kita tidak ubahnya seperti ulat bulu yang sering kali dinilai berdasarkan sisi negatifnya saja, padahal dibalik itu semua ada sebuah proses metamorfosa yang tersembunyi...... ya sisi indah yang kelak akan dimunculkan-nya saat mereka dewasa.

Saya sering mendengar banyak orang tua dan guru yang mengeluhkan anaknya yang hiper aktif dan tidak mau diam atau tidak bisa tenang...., Padahal sesungguhnya kelak anak-anak ini akan menjadi orang yang sangat dinamis... kelak anak-anak ini akan mampu mengerjakan berbagai tugas dalam waktu bersamaan, atau malah memimpin lebih dari satu perusahaan tanpa merasa kesulitan sama sekali.

Ada juga orang tua yang mengeluhkan anaknya yang katanya keras kepala dan susah sekali di atur.....padahal sesungguhnya kelak anak-anak semacam ini akan menjadi Pimpinan-pimpinan oraganisasi/perusahaan yang sangat berhasil dangan peningkatan karir yang sangat cepat.

Atau ada juga orang tua yang mengeluhkan anaknya yang katanya pemalu dan sulit bergaul, ia lebih suka menyendiri melakukan seuatu di kamar dan anaknya cengeng sekali. Padahal sesungguhnya kelak anak-anak semacam ini akan menjadi anak yang sangat unggul dibidang Sains Teknologi atau bisa juga menjadi Seniman-seniman kelas dunia, mereka adalah anak-anak yang peka dan penuh cinta kasih terutama pada orang tuanya...

Lain lagi misalnya ada orang tua yang mengeluhkan anaknya terlau cerewet dan tidak tahu malu....bahkan cenderung malu-maluin katanya. Padahal sesunguhnya kelak anak-anak ini akan menjadi orang-orang yang terkenal karena kemampuan tampilnya di depan umum dan keberaniannya untuk berekpresi.

Para orang tua dan guru yang saya cintai dimanapun anda berada....Begitulah sejarah telah membuktikan berkali-kali bahwa anak-anak yang dulu pada saat masa kecilnya dianggap sebagai anak yang aneh dan menyebalkan seperti Ulat Bulu...namun nyatanya setelah mereka dewasa justru menjadi orang-orang yang sangat sukses dan terkenal di kehidupan.

Tapi bagaimana mungkin Sang Ulat Bulu akan bisa menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah, jika kita semua selalu menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh, menjijikkan dan harus segera disingkirkan dari pandangan kita.

Para orang tua dan guru yang saya cintai dimanapun anda berada....Sesungguhnya..begitu banyak anak-anak Indonesia yang mengalami nasib mirip seperti ulat bulu tadi....dan karena mereka selalu di anggap sebagai anak bermasalah maka mereka tidak pernah memiliki kesempatan untuk bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu yang indah....yah...begitu malangnya mereka.....sampai akhirnyanya mereka harus tetap menjadi ulat bulu disepanjang hidupnya. ya Ulat bulu yang benar-benar mengganggu kehidupan kita semua....

Mari kita renungkan bersama.....saya yakin.....jika kita semua mau berubah...kita akan banyak memiliki kupu-kupu indah yang berterbangan menghiasi seluruh bumi nusantara tercinta ini....

Mari bersama-sama kita bangun Indonesia yang kuat melalui anak-anak kita tercinta.

Kalau bukan kita siapa lagi...? Kalau bukan sekarang Kapan lagi...?
Sumber:

Jumat, 18 Juni 2010

Bersyukurlah

Seorang anak laki2 tunanetra duduk di tangga sebuah bangunan dengan sebuah topi terletak di dekat kakinya. Ia mengangkat sebuah papan yang bertuliskan: 'Saya buta, tolong saya.' Hanya ada beberapa keping uang di dalam topi itu.



Seorang pria berjalan melewati tempat anak ini. Ia mengambil beberapa keping uang dari sakunya dan menjatuhkannya ke dalam topi itu. Lalu ia mengambil papan, membaliknya dan menulis beberapa kata. Pria ini menaruh papan itu kembali sehingga orang yang lalu lalang dapat melihat apa yang ia baru tulis.

Segera sesudahnya, topi itu pun terisi penuh. Semakin banyak orang memberi uang ke anak tuna netra ini. Sore itu pria yang telah mengubah kata-kata di papan tersebut datang untuk melihat perkembangan yang terjadi. Anak ini mengenali langkah kakinya dan bertanya, 'Apakah bapak yang telah mengubah tulisan di papanku tadi pagi? Apa yang bapak tulis?'



Pria itu berkata, 'Saya hanya menuliskan sebuah kebenaran. Saya menyampaikan apa yang kamu telah tulis dengan cara yang berbeda.' Apa yang ia telah tulis adalah: 'Hari ini adalah hari yang indah dan saya tidak bisa melihatnya.'
Bukankah tulisan yang pertama dengan yang kedua sebenarnya sama saja?

Tentu arti kedua tulisan itu sama, yaitu bahwa anak itu buta.
Tetapi, tulisan yang pertama hanya mengatakan bahwa anak itu buta. Sedangkan, tulisan yang kedua mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka sangatlah beruntung bahwa mereka dapat melihat. Apakah kita perlu terkejut melihat tulisan yang kedua lebih efektif?



Moral dari cerita ini: Bersyukurlah untuk segala yang kau miliki. Jadilah kreatif. Jadilah innovatif. Berpikirlah dari sudut pandang yang berbeda dan positif.

Ajaklah orang-orang lain menuju hal-hal yang baik dengan hikmat. Jalani hidup ini tanpa dalih dan mengasihi tanpa rasa sesal. Ketika hidup memberi engkau 100 alasan untuk menangis, tunjukkan pada hidup bahwa engkau memiliki 1000 alasan untuk tersenyum.

Hadapi masa lalumu tanpa sesal.
Tangani saat sekarang dengan percaya diri.
Bersiaplah untuk masa depan tanpa rasa takut.
Peganglah iman dan tanggalkan ketakutan.

Orang bijak berkata, 'Hidup harus menjadi sebuah proses perbaikan yang terus berlanjut, membuang kejahatan dan mengembangkan kebaikan... Jika engkau ingin menjalani hidup tanpa rasa takut, engkau harus memiliki hati nurani yang baik sebagai tiketnya.

Hal yang terindah adalah melihat seseorang tersenyum..
Tapi yang terlebih indah adalah mengetahui bahwa engkau adalah alasan di belakangnya! !!
Sumber Tulisan:

Senin, 14 Juni 2010

Cobalah memberi maka kau akan di beri.

Pada suatu hari seorang pria melihat seorang wanita lanjut usia sedang berdiri kebingungan di pinggir jalan. Meskipun hari agak gelap, pria itu dapat melihat bahwa sang nyonya sedang membutuhkan pertolongan. Maka pria itu menghentikan mobilnya di depan mobil Merecdes Benz wanita itu dan keluar menghampirinya. Mobil Pontiac-nya masih menyala ketika pria itu mendekati sang nyonya.

Meskipun pria itu tersenyum, wanita itu masih ketakutan. Tak ada seorangpun berhenti untuk menolongnya selama beberapa jam ini. Apakah pria ini akan melukainya? Pria itu kelihatan tak baik. Ia kelihatan miskin dan kelaparan.

Sang pria dapat melihat bahwa wanita itu ketakutan, sementara berdiri di Sana kedinginan. Ia mengetahui bagaimana perasaan wanita itu. Ketakutan itu membuat sang nyonya tambah kedinginan. Kata pria itu, “Saya di sini untuk menolong anda, Nyonya. Masuk ke dalam mobil saja supaya anda merasa hangat! Ngomong-ngomong, nama saya Bryan Anderson.”

Wah, sebenarn ya ia hanya mengalami ban kempes, namun bagi wanita lanjut seperti dia, kejadian itu cukup buruk. Bryan merangkak ke bawah bagian mobil, mencari tempat untuk memasang dongkrak. Selama mendongkrak itu beberapa kali jari-jarinya membentur tanah. Segera ia dapat mengganti ban itu. Namun akibatnya ia jadi kotor dan tangannya terluka. Ketika pria itu mengencangkan baut-baut roda ban, wanita itu menurunkan kaca mobilnya dan mencoba ngobrol dengan pria itu. Ia mengatakan kepada pria itu bahwa ia berasal dari St. Louis dan hanya sedang lewat di jalan ini..

Ia sangat berutang budi atas pertolongan pria itu. Bryan hanya tersenyum ketika ia menutup bagasi mobil wanita itu.. Sang nyonya menanyakan berapa yang harus ia bayar sebagai ungkapan terima kasihnya. Berapapun jumlahnya tidak menjadi masalah bagi wanita kaya itu.

Ia sudah membayangkan semua hal mengerikan yang mungkin terjadi seandainya pria itu tak menolongnya. Bryan tak pernah berpikir untuk mendapat bayaran. Ia menolong orang lain tanpa pamrih. Ia biasa menolong orang yang dalam kesulitan, dan Tuhan mengetahui bahwa banyak orang telah menolong dirinya pada waktu yang lalu. Ia biasa menjalani kehidupan seperti itu, dan tidak pernah ia berbuat hal sebaliknya.

Pria itu mengatakan kepada sang nyonya bahwa seandainya ia ingin membalas kebaikannya, pada waktu berikutnya wanita itu melihat seseorang yang memerlukan bantuan, ia dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang itu, dan Bryan menambahkan, “Dan ingatlah kepada saya.”

Bryan menunggu sampai wanita itu menyalakan mobilnya dan berlalu. Hari itu dingin dan membuat orang depresi, namun pria itu merasa nyaman ketika ia pulang ke rumah, menembus kegelapan senja.

Beberapa kilometer dari tempat itu sang nyonya melihat sebuah kafe kecil. Ia turun dari mobilnya untuk sekedar mencari makanan kecil, dan menghangatkan badan sebelum pulang ke rumah. Restoran itu nampak agak kotor. Di luar kafe itu ada dua pompa bensin yang sudah tua. Pemandangan di sekitar tempat itu sangat asing baginya.

Sang pelayan mendatangi wanita itu dan membawakan handuk bersih untuk mengelap rambut wanita itu yang basah. Pelayan itu tersenyum manis meskipun ia tak dapat menyembunyikan kelelahannya berdiri sepanjang hari. Sang nyonya melihat bahwa pelayan wanita itu sedang hamil hampir delapan bulan, namun pelayan itu tak membiarkan keadaan dirinya mempengaruhi sikap pelayanannya kepada para pelanggan restoran.

Wanita lanjut itu heran bagaimana pelayan yang tidak punya apa-apa ini dapat memberikan suatu pelayanan yang baik kepada orang asing seperti dirinya. Dan wanita lanjut itu ingat kepada Bryan.

Setelah wanita itu menyelesaikan makanannya, ia membayar dengan uang kertas $100. Pelayan wanita itu dengan cepat pergi untuk memberi uang kembalian kepada wanita itu.. Ketika kembali ke mejanya, sayang sekali wanita itu sudah pergi. Pelayan itu bingung kemana perginya wanita itu. Kemudian ia melihat sesuatu tertulis pada lap di meja itu.

Ada butiran air mata ketika pelayan itu membaca apa yang ditulis wanita itu: “Engkau tidak berutang apa-apa kepada saya. Saya juga pernah ditolong orang. Seseorang yang telah menolong saya, berbuat hal yang sama seperti yang saya lakukan sekarang. Jika engkau ingin membalas kebaikan saya, inilah yang harus engkau lakukan: ‘Jangan biarkan rantai kasih ini berhenti padamu’.'”

Di bawah lap itu terdapat empat lembar uang kertas $ 100 lagi. Wah, masih ada meja-meja yang harus dibersihkan, toples gula yang harus diisi, dan orang-orang yang harus dilayani, namun pelayan itu memutuskan untuk melakukannya esok hari saja. Malam itu ketika ia pulang ke rumah dan setelah semuanya beres ia naik ke ranjang. Ia memikirkan tentang uang itu dan apa yang telah ditulis oleh wanita itu.

Bagaimana wanita baik hati itu tahu tentang berapa jumlah uang yang ia dan suaminya butuhkan? Dengan kelahiran bayinya bulan depan, sangat sulit mendapatkan uang yang cukup. Ia tahu betapa suaminya kuatir tentang keadaan mereka, dan ketika suaminya sudah tertidur di sampingnya, pelayan wanita itu memberikan ciuman lembut dan berbisik lembut dan pelan, “Segalanya akan beres. Aku mengasihimu, Bryan Anderson!”

Ada pepatah lama yang berkata, “Berilah maka engkau diberi.” Hari ini saya mengirimkan kisah menyentuh ini dan saya harapkan anda meneruskannya. Biarkan terang kehidupan kita bersinar. Jangan hapus kisah ini, jangan biarkan saja!

Mencari Tuhan di Penggorengan Pisang Raja

SORE hari terasa lezat jika disisipi beberapa potong pisang goreng dan teh manis hangat. Setelah lelah berdiri beberapa jam menyampaikan materi pelatihan, laju mobil saya mengantarkan saya ke sebuah warung gorengan yang tidak jauh dari komplek perhotelan mentereng di negeri ini. Kaca mata bisnis saya selalu saja senang memperhatikan geliat orang-orang yang berani menolong diri sendiri dan keluarganya melalui usaha halal dalam bentuk apapun. Melihat warung ini, saya mencoba mengkalkulasikan kira-kira berapa besar nilai bisnisnya. Bagaimana pengelolaannya, bagaimana pemasarannya, teknik jual si pelayan dan berbagai hal-hal teoritis lainnya. Seorang paruh baya menyodorkan sepiring pisang goreng ke hadapan saya sambil tersenyum ramah dan berbasa-basi mempersilahkan saya untuk mencicipinya sekaligus menanyakan minuman apa yang saya minati. Pemilik wajah yang begitu teduh dan damai itu bernama Sudiro yang akhirnya saya tahu bahwa panggilan akrabnya adalah Wak Diro. Menikmati pisang goreng terasa lebih hangat dengan obrolan ringan bersama Wak Diro. Dalam guyonan yang mengalir saya tahu ternyata Wak Diro adalah perantau asal Kudus yang sudah 16 tahun menjual gorengan pisang. Dalam satu hari ia bisa menghabiskan satu tandan besar dan hasil penjualannya bisa menyekolahkan ke empat anaknya hingga menjadi sarjana. Wak Diro rupanya jebolan fakultas teknik universitas negeri tertua di Jogjakarta, walau ia hanya bisa sampai semester 5. Kenapa tidak bisnis yang lain Wak? Atau menjadi pegawai negeri? Tanya saya menyelidik. Belum sempat menjawab pertanyaan saya, ia menggukkan badan tanda permisi kepada saya karena datang satu mobil Kijang Inova baru yang mendekat. Ternyata mobil itu dikemudikan oleh istrinya yang mengantarkan sesuatu. Pikiran saya berputar tak tentu. Tanpa sadar saya sedang menakar kantong orang tua ini. "Seorang penjual pisang goreng mampu menguliahkan keempat anaknya hingga sarjana dan kini didepan mata saya, si Istri datang dengan mobil baru yang tidak murah harganya".

Bukan cari uang
Sekali lagi saya jarah lagi semua sudut warung kecil itu. Penataan dagangan lumayan menarik, tetapi tidak istimewa. Kualitas produknya berupa gorengan juga terasa sama seperti pisang goreng ditempat lain. Atmosfir warung juga sama seperti warung-warung lain, walau yang ini terlihat lebih bersih dan terjaga. Sarana promosi sangat sederhana, hanya tulisan Pisang Goreng Panas yang ditulis tangan dengan kuas biasa. Daftar harga tercetak di selembar kertas terlaminasi yang ditempel di dinding sebelah kiri. Ada dua orang pegawai yang membantu menggoreng, membuat minuman dan melayani pelanggan sekaligus. Tetapi jumlah pembelinya silih berganti, tidak sederah air pancuran, tetapi datang satu-satu seperti tiada henti. Tak lama kemudian istri Wak Diro pergi, kata Wak Diro, istrinya harus mengantar beberapa kertas tisue ke lima cabangnya yang lain. Dan informasi itu membuat saya memilih untuk bertahan lebih lama demi mengetahui apa rahasia sukses bisnis ini. Setelah melewati beberapa basa-basi, lalu ia bertanya kepada saya, "Mas, sampean apa percaya sama Gusti Allah?". Sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, karena saya tidak bisa memperkirakan kemana arah pemikirannya. Lalu tanpa menunggu jawaban saya, Wak Diro menjelaskan bahwa dalam 8 tahun terakhir Ia tidak lagi mencari uang semata, tapi Ia mencari Tuhan. "Uang bagi saya hanyalah sekadar bonus atas pencarian dan pengabdian saya ke Gusti Allah". Seperti pengakuan kebanyakan manusia, Ia meyakini bahwa hanya Tuhan yang sanggup mengarahkan dirinya kepada kondisi apapun."Mas, saya bukan jualan pisang gorang lho", aku Wak Diro, "Saya ini sedang membantu orang-orang agar bisa beribadah dengan baik". "Wow..." pikir saya, apakah penjual pisang goreng ini masih waras? "Saya ini senang membantu banyak orang dengan mengganjal perutnya agar ibadah shalat Ashar dan Maghrib-nya berjalan dengan baik, karena jam makan malam biasanya setelah Shalat Isya" terang Wak Dirno. Saya mulai memahami apa maksud kalimat Wak Diro sebelumnya, "Uang bagi saya hanyalah sekadar bonus atas pencarian dan pengabdian saya ke Gusti Allah". Kini saya paham, mengapa ia begitu ramah menyambut tamu-tamunya, kualitas gorengan tetap terjaga baik ukuran maupun takarannya dan ruangan kedai ini tetap terjaga kebersihannya. Jelas bukan karena sekadar mencari uang, tetapi Wak Dirno sedang beribadah. Mencari keridhaan Tuhan. Seperti dijanjikan Allah ketika kita bersyukur, maka nikmat itu terus bertambah dan mengalir lancar. Saya benar-benar terbayang betapa saya dan banyak sahabat saya yang kerja mati-matian siang -malam hanya sekadar mencari uang. Bayangan itu begitu asam terasa setelah mendengar pengakuan Wak Dirno itu. Betapa Wak Dirno sudah menemukan kunci dasar sukses bisnis. Ia tidak sekadar menjual jajanan, ia muncul dengan alasan yang lebih mulia. Pisang goreng hanya media mendapatkan ridha Sang Khalik. Semua bentuk kerja dan bisnis dikerjakannya dengan menghadirkan batin, tulus dan iklas.

Khawatir
"Bagian saya adalah mempermudah ibadah orang lain, bagian Gusti Allah menjaga saya Mas" "Saya hanya pasrah dan memohon agar selalu dituntun Gusti Allah" aku Wak Dirno. "Apapun langkah saya, saya percaya Gusti Allah akan menyelamatkan saya. Jika saya dibawa ke kubangan Kebo sekalipun, saya tetap percaya kalau itu adalah kehendak Gusti Allah dengan maksud tertentu agar saya mendapatkan hikmah atas perjalanan itu". Menyelesaikan pisang terakhir, saya bertanya, "Wak, apakah sampean tidak khawatir dengan kenaikan BBM?", dengan ringan Wak Dirno menjawab, "Lha wong, saya sudah serahkan hidup saya ke Gusti Allah, kok mesti kuatir?". Sambil mengulurkan uang kembalian ke saya, ia berujar, "Saya kan cuma kawulo, apakah pantes kalau saya ikut campur tangan 'ngatur kerjaan Kanjeng Gusti?"

Tulisan ini sudah diterbitkan di harian waspada pada tanggal 26 mei 2008, dihalaman bisnis dan teknologi.

Bekerja dengan Cinta dan Ketulusan

Bila anda tidak mencintai pekerjaan anda, maka cintailah orang-orang yang bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan, pekerjaan anda pun jadi menggembirakan.

Bila anda tidak mencintai teman kantor anda, maka cintailah gedung dan suasana kantor. Ini akan memotivasi anda berangkat kerja dan melakukan pekerjaan kantor dengan lebih bersemangat.

Bila ternyata anda tidak bisa melakukannya, cintai perjalanan pulang pergi dari dan ke tempat kerja anda. Perjalanan yang menyenangkan akan menjadikan tujuan perjalanan atau kantor tampak menyenangkan.

Tapi jika anda pun tak menemukan kesenangan di perjalanan, cintai apapun yang bisa anda cintai dari tempat kerja anda. Bisa tanaman hias di meja kerja, barisan semut di dinding, atau burung-burung yang beterbangan di luar sana. Apa saja !

Jika tidak juga menemukan sesuatu yang bisa anda cintai dari kerja anda, kenapa anda masih di situ??? Cepat pergi dan carilah apa yang anda cintai, lalu bekerjalah di sana. Hidup cuma sekali. Tak ada yang lebih indah selain melakukan sesuatu dengan cinta yang tulus.
Sumber:

AYAH, MAAFKAN DITA

Sepasang suami istri, seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anaknya di rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerapkali dibiarkan pembantunya bermain karena sibuk di dapur. Bermainlah ia bersama ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari ia melihat sepotong paku karat. Dan kemudian iapun mencoretkan paku itu ke lantai dimana ayahnya memarkir mobil, tetapi karena lantai itu terbuat dari marmer maka coretan itu tidak nampak jelas. Dicobanya lagi coretan di mobil baru ayahnya. Ya.... karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya nampak jelas. Apalagi anak inipun semakin membuat coretan sesuai dengan kreatifitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh pembantu rumah.

Sore hari saat kedua orangtuanya pulang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si ayah yang belum sempat masuk ke dalam rumah itupun terus berteriak, ”Kerjaan siapa ini? Pembantu rumah yang tersentak dengan teriakan itu berlari keluar rumah.. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi si bapak mengajukan pertanyaan keras kepadanya, diapun terus menjawab ”Saya tidak tahu ... tuan...”. Kamu sepanjang hari di rumah, apa saja yang kau lakukan?, hardik sang istri lagi.

Mendengar suara ayahnya, Si anak yang sedang berada di dalam kamar lalu keluar. Dengan penuh manja seorang anak, diapun berkata ”Dita yang membuat gambar itu ayah..... cantik ... kan! katanya sambil sambil memeluk ayah dan bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah mulai hilang kesabaran kemudian mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya., terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tidak mengerti apa2 lalu menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Belum puas memukul telapak tangan anaknya, si ayahpun memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan kepada anaknya itu. Pembantu rumah tangga terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si ayah cukup lama memukuli tangan kanan anaknya dan kemudian ganti tangan sebelah kiri. Setelah merasa puas, kemudian si ayah masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh si istri, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu dan membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat tangan anak kecil itu luka2 dan berdarah. Pembantu rumah itu lalu memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramkan air, iapun ikut menangis karena merasa iba. Anak kecil itu menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanyan itu terkena air. Lalu si pembantu rumah itu menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan si anak kecil itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokan harinya, kedua tangan anak kecil itu terlihat bengkak. Pembantu rumah mengadu kepada majikannya. ”Oleskan obat saja” jawab si ayah.



Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktunya di kamar pembantu. Si ayah konon ingin memberikan pelajaran kepada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk si anak, sementara si ibu juga demikian, meski setiap hari ia bertanya kepada pembantu rumah. Dita demam, Bu” jawab si pembantu rumah singkat. ”Berikan panadol saja” timpal si ibu. Sebelum si ibu masuk ke rumah, dia pun menyempatkan menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihatnya anaknya Dita dalam pelukan si pembantu iapun kembali menutup pintu kamar pembantu dan masuk ke kamar tidurnya.
Masu hari ke empat, pembantu rumah memberitahu kepada tuannya bahwa suhu badan Dita sangat panas. ”Sore nanti kita bawa ke klinik.... pukul 5 sore sudah siap” kata majikannya. Sampai saatnya si anak dalam kondisi anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah sangat serius.

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kemudian dokter memangggil kedua orang tua si anak kecil itu. ”Tidak ada pilihan lain ...” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah sangat parah dan infeksi akut. ”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan si anak, maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan si ibu bagaikan terkena halilintar mendengarkan kata2 dokter itu. Terasa dunia seperti berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung-raung sambil merangkul si anak. Dengan berat hati dan klelehan air mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anakpun menangis karena kesakitan. Diapun heran kedua tangannya dibalut dengan kasa putih. Ditatapnya wajah ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. ”Ayah..ibu ... Dita tidak akan melakukannya lagi .... Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi .... Dita sayang ayah .... Dita sayang ibu” katanya berulang kali membuat si ibu tak kuasa menahan sedihnya. ”Dita pun sayang sama mbok Narti ...” katanya pula sambil memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat pembantu rumah itupun meraung histeris.

”Ayah kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil .... Dita janji tidak akan mengulangi lagi ! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti? ... Bagaimana Dita mau main nanti? ..... Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi... katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangannya dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya mesti harus dipotong meskipun ia sudah meminta maaf.

Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yang tak bertepi. Namun si anak, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar dan bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

Sumber dr Email teman

Sabtu, 12 Juni 2010

Trading Places

oleh : Arfan Pradiansyah

Dua kakak-adik bersama-sama mengelola sebuah ladang dan penggilingan. Setiap malam mereka membagi butir-butir padi untuk digiling esok siang. Yang seorang hidup sendiri, yang satunya menikah dan dikaruniai banyak anak.

Suatu hari pria yang hidup sendiri itu berkata dalam hati, “Tidak adil kalau butir padinya dibagi rata. Aku hidup sendiri sedangkan saudaraku punya banyak anak yang harus diberi makan.” Maka, setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi bagiannya dan meletakkan di lumbung saudaranya.

Ternyata pria yang menikah juga memikirkan situasi saudaranya dan berkata dalam hati, “Tidak adil kalau kami membagi butir padi sama rata. Aku punya anak-anak yang akan mengurus diriku kalau aku sudah tua. Bagaimana dengan dia?” Maka setiap malam ia diam-diam mengambil sekarung padi dari lumbung miliknya, dan meletakkan di lumbung saudaranya.

Suatu malam mereka berpapasan di jalan antara dua rumah mereka. Dan tiba-tiba mereka menyadari apa yang selama ini terjadi. Mereka baru menyadari mengapa selama ini persediaan butir padi mereka tidak pernah berkurang. Mereka pun berpelukan dengan penuh kasih sayang.

Pembaca yang budiman, betapa indahnya dunia ini kalau kita bisa saling menghayati apa yang dibutuhkan orang lain. Bukankah berbagai masalah yang kita hadapi dalam hidup ini sesungguhnya bersumber dari ketidakmampuan kita untuk saling bertukar tempat (trading places) dan melihat segala sesuatu dari kacamata orang lain?

Bertukar tempat sesungguhnya merupakan rahasia kesuksesan yang terbesar. Orang yang mampu bertukar tempat mampu membaca pikiran orang lain. Ia berusaha mendengar dari telinga orang lain dan melihat dari mata orang lain. Ini tentu saja membuatnya mampu berkomunikasi dengan siapa saja. Bukan itu saja, bertukar tempat juga merupakan rahasia kebahagiaan (happiness) yang terbesar. Kemampuan bertukar tempat akan melahirkan rasa kasih yang luar biasa. Dan bukankah kasih sejatinya merupakan inti kebahagiaan?

Kalau semua orang di dunia ini mampu bertukar tempat, tentu tidak akan ada lagi kejahatan, kesedihan, kekecewaan, keburukan. Dunia juga akan bersih dari pembunuhan dan peperangan. Bagaimana mungkin Bush (ketika menjadi Presiden Amerika Serikat) bisa memerangi orang lain, membuat mereka cacat dan kehilangan keluarga yang mereka cintai, bila ia bisa membayangkan dirinya sendiri yang menjadi cacat atau kehilangan anak yang sangat ia cintai?

Namun bertukar tempat ternyata tidak semudah yang dikatakan. Ada lima alasan yang membuat bertukar tempat itu sulit. Pertama, karena pada dasarnya kita mementingkan diri sendiri. Mementingkan diri sendiri memang menjadi fitrah kita dan merupakan tahap perkembangan manusia yang paling awal. Tanpa mementingkan diri sendiri kita akan punah dari kehidupan. Namun berada pada fase ini membuat kita tidak berbeda dari seorang anak kecil yang bila meminta sesuatu mengharuskan orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan dia saat itu juga. Seorang anak kecil belum mampu memahami bahwa orang tuanya saat ini sedang sangat sibuk. Berada dalam fase ini selamanya juga akan membuat kita tak ada bedanya dari hewan. Tahap pendewasaan seseorang sebenarnya ditandai dengan kemampuan bertukar tempat dan merasakan apa yang dialami oleh orang lain.

Kedua, karena yang paling menarik perhatian kita adalah diri kita sendiri. Ini mudah sekali membuktikannya. Coba Anda ambil sebuah foto yang memuat gambar Anda dan teman-teman Anda. Dari mana Anda menilai bahwa foto itu bagus atau tidak? Siapa yang menjadi pusat perhatian Anda? Sudah tentu Anda sendiri bukan? Tak peduli bagaimana amburadulnya gambar orang lain, sebuah foto kita nilai bagus kalau pose kita dalam foto itu bagus.

Ketiga, kita sulit bertukar tempat karena kita tidak pernah mengalami menjadi orang lain. Bagaimana kita bisa merasakan tantangan yang dialami oleh para sopir angkutan umum – yang sering kali membawa kendaraan secara ugal-ugalan dan mengganggu kenyamanan kita – kalau kita setiap harinya duduk nyaman di mobil kita yang ber-AC? Bagaimana seorang karyawan – yang setiap hari senantiasa mengeluh – bisa memahami apa yang dirasakan oleh pemilik perusahaan? Bagaimana kita yang setiap hari makan enak dan tidur nyenyak bisa membayangkan bagaimana menjadi orang miskin? Bagaimana seorang suami bisa memahami apa yang dirasakan oleh istrinya yang tengah mengandung anak pertama?

Kita tidak akan pernah mengalami situasi yang demikian, karena itu kita tidak akan bisa berempati dan benar-benar merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Namun sejatinya bertukar tempat tidak selalu berarti mengalami. Justru bertukar tempat adalah kemampuan kita untuk “mengalami” tanpa benar-benar mengalami. Ini bisa dicapai dengan latihan dan mengembangkan kedewasaan kita.

Keempat, kita sulit bertukar tempat karena kita sedang dalam situasi krisis. Bayangkan. Bila Anda sedang sakit gigi, dan di kanan-kiri Anda ada orang yang sedang terkena bencana gempa bumi, tanah longsor, kebakaran, kebanjiran atau kehilangan orang yang dicintai. Dari sekian banyak masalah tersebut, manakah yang merupakan masalah terbesar di dunia ini? Sudah pasti gigi Anda!


Kelima, kita sulit bertukar tempat karena menganggap bertukar tempat itu tidak penting. Pasalnya, kita tidak benar-benar menyadari manfaatnya bagi kesuksesan dan kebahagiaan kita.

Orang yang mampu bertukar tempat sejatinya adalah orang yang dapat melampaui dirinya sendiri. Dan ketika kita mampu melampaui diri sendiri, maka segala sesuatu di dunia ini akan dapat kita pahami. Tiada lagi kebencian dan permusuhan. Toh, bukan berarti kita setuju dengan apa yang dilakukan orang lain. Memahami tidaklah berarti setuju dengan perbuatan buruk, kata-kata yang kasar, penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Memahami berarti memandang apa pun yang ada di hadapan kita – seburuk apa pun itu – dengan mata kasih.

Penulisan adalah Direktur Pengelola ILM & penulis best seller The 7 Laws of Happiness (Friday, February 12th, 2010)

Sumber Tulisan:

Kisah Sinar menggugah banyak orang

6 Januari 2010

SubhanaLlah, Maha Suci Allah! Sangat mengharukan! Itulah sebagian besar ungkapan penonton saat melihat tayangan di SCTV tentang kisah anak usia 6 tahun mengurus ibunya yang lumpuh. Bahkan tidak sedikit yang menitikkan air mata saat menyaksikan Sinar, nama bocah belia itu menampakkan bakti, cinta dan kasih sayangnya pada sang bunda, mengabaikan masa kecilnya pada saat anak-anak seusianya menghabiskan waktunya dengan bermain, sementara ia harus berada di samping bundanya yang sakit sejak dua tahun lalu.

Rumah Murni, nama ibu yang lumpuh ini terletak Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Walau tampak jauh dari keramaian kota, tapi rumah Murni juga tidak luput dari keramaian Pemilu lalu. Terbukti dengan banyaknya sticker partai dan caleg yang tertempel di dinding rumah kayu sangat sederhana itu. Tapi sepertinya para politisi dan kader partai itu abai dengan apa yang terjadi di tengah keluarga miskin ini. Para tetanggalah yang terkadang memberikan bantuan ala kadarnya untuk Murni dam putrinya, Sinar. Karena suami Murni sendiri merantau ke Malaysia.

Sinarlah yang membantu dan menemani ibunya selama ini. Mulai dari memindahkan atau menggeser tubuhnya, masak, makan, minum, mandi hingga buang air. Semua itu ia kerjakan sendiri dengan penuh cinta. Tayangan yang ditampilkan SCTV ini bahkan sanggup meruntuhkan air mata mereka yang menyaksikannya. Ada rasa iba dan takjub sekaligus melihat bocah usia 6 tahun yang tampak penuh tanggung jawab melakukan tugas mulianya, sambil mengusap mesra pipi ibunya.

Bocah kelas satu Sekolah Dasar ini bahkan kerap terlambat ke sekolah karena harus mengurus ibunya. Begitu pula setelah pulang sekolah. Nyaris seluruh waktunya telah ia persembahkan bagi ibunya yang sakit parah. Walaupun Sinar memiliki lima orang kakak dan juga belum dewasa, namun mereka semua tinggal terpisah dengannya. Faktor ekonomi membuat mereka menjadi pembantu rumah tangga.

Kisah Sinar, bocah belia usia 6 tahun ini mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya berbakti kepada kedua orang tua. Walau di antara kita mungkin ada yang bertanya, apakah karena usianya yang masih sangat belia itu yang membuat Sinar mampu memahami arti berbakti kepada orang tua? Karena kita sendiri heran melihat perilaku seorang anak yang sudah dewasa justru tak sudi melayani ibunya yang renta dan tak mampu lagi berbuat apa-apa. Ia telah kehabisan cinta dan kasih sayang untuk ibunya.

Tapi begitulah Allah mengajarkan kepada kita tentang cinta kasih kepada orang tua melalui anak kecil ini. IA telah letakkan dalam hatinya pada saat banyak manusia yang justru tak memilikinya. Semoga saja ibu Murni dapat segera sembuh dari penyakit yang menimpanya. Dan putrinya, Sinar, senantiasa diberikan kekuatan oleh Allah Ta’ala berbakti kepada ibunya.

Kisah Sinar, bocah kelas satu Sekolah Dasar Tondo Pata, Polewali Mandar, Sulawesi Selatan, ternyata menggugah nurani banyak orang. Sejumlah dermawan memberikan berbagai bantuan seperti pakaian, beras, uang hingga kasur untuk tidur. Bahkan beberapa dermawan lainnya akan membantu biaya sekolah Sinar.

Cinta bocah bernama Sinar pada ibunya juga telah menginspirasi Charlie, vokalis band ST12. Sebagai bentuk simpati, Charlie menciptakan lagu berjudul Sinar Pahlawanku. Bukan hanya mencipta lagu, ST12 bahkan menginap di rumah anak perempuan berusia enam tahun itu.

Sontak rumah warga Dusun Tondo Pata, Desa Riso, Kecamatan Tapango, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menjadi ramai. Penduduk berdatangan untuk melihat band Ibu Kota. Sementara bagi ST12, mereka ingin melihat langsung ketabahan dan kegigihan Sinar merawat ibunya yang lumpuh.

Kebiasaan sehari-hari Sinar, yaitu memasak dan mencuci pakaian. Semua dilakukan seorang diri karena para saudaranya sudah tidak tinggal di rumah. Jangan menangis sayang, ini hanyalah cobaan Tuhan. Hadapi semua dengan senyuman, dengan senyuman. ST12 berharap, bait lagu ciptaan untuk Sinar bisa menguatkan anak yang mencintai ibunya itu.

ini dia video lagu tersebut :

video charlie ST12 menginap dirumah Sinar :

sumber liputan6.com, kompasiana.com, yahoo.com
Sumber tulisan:

AYO PUKUL, AYAH!

(Sebuah pengalaman hidup)

Ayah adalah penggemar baseball yang fanatik. Saya tumbuh di New York City, karena itu bisa melihat team-team yang hebat berlaga di Polo Grounds, Ebbets Field dan Yankee Stadium.
Pada hari Sabtu, saya dan ayah sering menjadi sporter untuk mendukung team favorit kami di stadion itu. Lama-lama saya juga menyukai permainan baseball. Tetapi karena saya seorang anak perempuan – saya lebih banyak sebagai penonton daripada pemain; seperti lazimnya yang terjadi masa itu.

Tiap ada kesempatan, ayah selalu mengajak saya ke taman dimana ada team anak-anak yang bermain baseball, dan ayah melemparkan bola untuk saya pukul. Kami bermain bersama berjam-jam, dan baseball menjadi bagian terbesar dari hidup saya.

Suatu hari saat sedang bermain baseball di taman, saya melihat seorang wanita mendorong anak laki-lakinya di atas kursi roda, berhenti untuk melihat permainan kami. Ayah menghentikan permainan dan bertanya kepada
anak itu apakah mau ikut bermain. Ibunya menjelaskan bahwa yang di kursi roda itu adalah anaknya dan menderita polio; sehingga tidak bisa beranjak dari kursi roda. Tetapi penjelasan itu tidak menghentikan niat ayah.

Ayah memberikan pemukul di tangan kecil anak itu, dan mendorong kursi roda di base pemukul serta membantunya menggenggam tongkat pemukul. Kemudian ayah berteriak pada saya, “Anne, lemparkan bola pada kami.”

Saya sempat gugup karena kuatir jika bola yang saya lempar mengenai anak itu. Tetapi saat melihat mata anak laki-laki itu berbinar-binar, saya meyakinkan diri untuk melemparkan bola padanya. Saat bola sampai, tongkat
pemukul yang digenggam oleh anak laki-laki dan ayah menghantam dengan tepat, dan anak itu berteriak kegirangan. Bola terbang melintas di atas kepala saya dan jatuh di di seberang lapangan. Saya berlari untuk memungut bola, dan saat berbalik, saya mendengar ayah menyanyikan lagu ‘Bawa Aku Ke Pertandingan Baseball’ sambil mendorong kursi roda itu melewati semua base di sekeliling lapangan. Ibunya bertepuk tangan dengan riuh dan anak itu minta untuk bisa tetap ikut meneruskan permainan.

Satu jam kemudian kami meninggalkan lapangan, sangat lelah tapi bahagia.

Dengan air mata membanjir di pipinya, ibu anak laki-laki itu mengucapkan banyak terima kasih kepada ayah karena sudah memberikan kebahagiaan yang tak ternilai bagi anaknya yang menderita polio. Ayah tersenyum dan
berkata bahwa dia juga ikut merasakan kebahagiaan itu, dan memintanya untuk bisa kembali lagi dan bermain baseball bersama kami.

Pada hari Sabtu berikutnya, saya dan ayah menunggu, tetapi anak laki-laki dengan kursi rodanya tidak muncul. Saya merasa sedih dan menduga-duga apa yang terjadi sehingga mereka tidak datang. Saya dan ayah bermain baseball
sampai siang, tetapi mereka tetap tidak datang.

Dua puluh tahun telah berlalu dan ayah yang saya cintai meninggal dengan tenang di usia lima puluh sembilan tahun. Dengan kepergian ayah, segala sesuatunya berubah dan dan keluarga kami memutuskan untuk pindah ke Long Island. Perasaan saya campur aduk, karena harus meninggalkan lingkungan dan tetangga yang sudah sangat akrab sejak saya kecil.

Terakhir kali, saya memutuskan untuk pergi ke taman dimana saya dan ayah telah mengukir banyak kenangan indah di sana. Saya berhenti di lapangan baseball. Di sana saya dan ayah biasa bermain pada hari Sabtu. Saat itu saya melihat dua group anak-anak sedang bermain baseball.

Saya duduk untuk melihat sejenak. Saya merasa air mata menetes ketika melihat anak-anak itu larut dalam permainan yang sangat saya sukai. Saya sangat rindu pada ayah.

“Jeff, jaga base-mu,” seorang pelatih berseru. Saya menyoraki seorang pemain yang berlari kencang setelah berhasil memukul bola hingga keluar lapangan. Pelatih itu berbalik dan tersenyum. Dia berkata, “Anak-anak sangat senang jika bisa berlari home run, bu.”

Dia meneruskan, “Saya tidak pernah membayangkan bisa menjadi pelatih di lapangan ini. Saat masih kecil saya menderita polio dan harus duduk di kursi roda. Suatu hari ibu mendorong kursi saya ke lapangan ini dan saat itu ada seorang laki-laki dan anak perempuannya sedang bermain. Saat melihat kami, mereka menhentikan permainannya dan bertanya pada ibu saya apakah saya bisa ikut bergabung dalam team itu. Dia membantu saya memegangi tongkat pemukul dan anak perempuannya melemparkan bola pada saya. ”

“Saat itu saya berhasil memukul bola dengan kencang karena dibantu oleh laki-laki itu. Selanjutnya dia berlari mendorong kursi saya melewati semua base di sekeliling lapangan sambil bernyanyi, ‘Bawa Aku Ke Pertandingan Baseball.’ Itu adalah hari yang paling membahagiakan saya, lebih daripada tahun-tahun yang sudah saya lalui. Saya percaya bahwa pengalaman itu memberi dorongan semangat yang luar biasa supaya bisa berjalan.”

“Kami pindah ke New Jersey hari berikutnya. Itulah sebabnya pada itu ibu membawa saya ke taman untuk mengucapkan perpisahan dengan teman-teman saya. Saya tidak pernah melupakan laki-laki berserta anak perempuannya itu. Saya bermimpi bisa berlari melintasi base di sekeliling lapangan dengan kedua kaki saya sendiri. Dengan mimpi itu, melalui kerja keras tiap hari, akhirnya bisa terwujud.”

“Saya kembali lagi ke sini tahun lalu, dan mulai saat itu menjadi pelatih team anak-anak di sini. Saya berharap suatu hari dengan berdiri tegak, bisa bertemu dengan laki-laki dan anak perempuannya lagi. Siapa tahu, saya bisa menemukannya sedang berada di lapangan sedang melemparkan bola pada cucunya – setelah tahun-tahun datang dan pergi. Saat itu saya akan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga padanya.”

Air mata mengalir di pipi saat mengetahui bahwa ayah menerima ucapan terima kasih dari seorang anak yang ditemuinya dua puluh tahun lalu. Saya merasa seolah-olah masih mendengar seruannya “Pukul dengan keras!”, sambil
berdiri tepat di samping saya, tidak peduli apakah hidupnya sudah direnggut dari sisi saya dan keluarganya.

Suatu contoh kebaikan hati yang sederhana di musim semi itu telah mengubah hidup saya selamanya. Setelah dua puluh tahun berlalu, kenangan indah itu ternyata berbuah dengan mengagumkan. “Ayo pukul, ayah!” kata saya saat
meninggalkan lapangan itu. “Saya tahu, ayah masih memainkan pertandingan yang kita sukai bersama – baseball!”

Saya Menangis 6 Kali Untuk Adikku

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau berkata, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami sambil marah, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…”

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya, “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!”

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”

Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis, menangis… Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku, “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”

Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu…”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya, “Apakah itu sakit?” aku menanyakannya.

“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…”

Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali kesempatan suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya, “Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat:

“Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

(Diterjemahkan dari I cried for my brother six times)

Rabu, 09 Juni 2010

Hening

Friday, May 14th, 2010
oleh : Arfan Pradiansyah

Seorang pengusaha kaya ingin memilih siapakah di antara tiga anaknya yang mampu mewarisi perusahaannya. Untuk itu, dia pun menguji ketiganya dengan cara menyembunyikan jam antiknya yang terbuat dari emas di gudangnya yang sangat besar, gelap, dan ditimbuni banyak jerami.

Anak pertama masuk dengan membawa pelita dan berusaha membongkar jerami-jerami itu dengan tangannya. Setelah seharian bekerja keras, ia belum juga menemukan jam antik ayahnya. Ia kemudian keluar dengan sangat kecewa.

Anak kedua masuk dengan membawa pelita dan tongkat pengais, berusaha membongkar dan mengais-ngais jerami dalam gudang yang gelap dan sangat besar itu. Namun setelah seharian mencari, ia tak juga berhasil menemukan jam emas antik itu.

Anak ketiga masuk ke dalam gudang itu tanpa pelita, tetapi dalam beberapa jam kemudian ia keluar dengan membawa jam antik ayahnya. Ini tentu saja sangat mengherankan kakak-kakaknya yang kemudian bertanya kepadanya di mana letak rahasianya. Si bungsu mengatakan bahwa ia masuk ke gudang itu dan duduk diam, tenang dan hening beberapa saat sampai akhirnya ia dapat mendengarkan suara tak-tik-tak jam antik ayahnya dengan jelas dan pelan-pelan ia menelusuri sumber suara itu sampai akhirnya ia tiba pada jam antik emas milik sang ayah.

Pembaca yang budiman, ternyata pendekatan kesuksesan berbeda dari pendekatan spiritualitas. Pendekatan kesuksesan mengajarkan kepada kita bahwa dalam menghadapi berbagai masalah kita harus berusaha sekeras mungkin. Kita harus mengerahkan segala daya dan upaya kita semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah. Namun, pendekatan spiritual justru menggunakan metode yang berbeda. Dalam menghadapi masalah, yang harus dikendalikan adalah diri kita, bukan masalahnya. Ternyata semakin kita mengendalikan diri kita, semakin kita duduk diam dan tenang, semakin dekatlah kita kepada solusinya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Penjelasannya sesungguhnya sederhana saja. Berbagai persoalan dalam hidup sesungguhnya sering bersumber dari diri kita sendiri. Karena itu, ketika kita mampu duduk tenang dan diam, maka akan muncullah ketenangan dan kejernihan. Dan ketika ketenangan itu muncul, kita akan menyadari bahwa masalah itu sesungguhnya bukanlah berada di luar melainkan berakar di dalam diri kita sendiri.

Lebih dari itu, berbagai persoalan dalam hidup sesungguhnya dapat kita atasi kalau kita mau mendekati Tuhan. Ini tentu saja tidaklah mengherankan karena Tuhanlah yang menguasai setiap persoalan. Namun, Tuhan tidak dapat dicapai dalam kesibukan dan kehirukpikukan. Tuhan hanya dapat dicapai dengan keheningan.

Banyak orang yang gagal memahami pentingnya keheningan dan karenanya gagal mencapai komunikasi yang intensif dengan Tuhan. Mereka beribadah, bersembahyang dan berdoa kepada Tuhan, tetapi tidak pernah mendapatkan petunjuk apa pun. Dalam beribadah mereka sibuk berkata-kata, sedemikian sibuknya sehingga mereka tak sempat mendengarkan jawaban dari Tuhan. Ini yang membuat ibadah tersebut seakan-akan tak berbekas dalam keseharian mereka. Ini nampak dari perilaku mereka yang semakin jauh dari Tuhan.

Kalau demikian, sudah jelaslah bahwa ibadah yang mereka lakukan sesungguhnya telah gagal mencapai sasarannya. Mereka sesungguhnya tidak pernah berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika beribadah mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka hanya berfokus pada apa yang mereka katakan dan lakukan. Mereka tidak pernah mendengar jawaban Tuhan karena mereka tidak pernah berada di dalam keheningan.

Tuhan hanya dapat dicapai dengan keheningan. Keheningan adalah prasyarat utama untuk bisa menyamakan gelombang kita dengan Tuhan. Dalam kondisi hening kita menjalin komunikasi intim dengan Tuhan. Ini berarti membiarkan-Nya merasakan apa yang ada dalam hati kita, dan Dia sebaliknya membiarkan kita merasakan apa yang ada di dalam hati-Nya. Kita bahkan tidak perlu menggunakan kata-kata kita untuk merasakan kesatuan kita dengan Tuhan.

Manusia sesungguhnya sangatlah merindukan keheningan. Keheningan itu membahagiakan. Ketika masih berada di rahim ibu, kita merasakan bahagia karena kita hidup dalam keheningan yang sempurna. Kondisi ini akan kita rasakan kembali ketika suatu waktu nanti kita menghadap Tuhan di akhir hidup kita. Namun, kehidupan kita di dunia yang penuh dengan kesibukan dan kebisingan ini sering menjauhkan kita dari kebahagiaan karena kita lupa kembali kepada kondisi awal kita, yaitu keheningan.

Keheningan sering dijauhi manusia modern yang berpendapat bahwa hening itu tidak produktif, bahwa cepat itu lebih baik, dan bahwa orang yang efektif adalah mereka yang mampu melakukan berbagai pekerjaan sekaligus. Padahal, keheningan itu sangat produktif dan sangat dinamis. Keheninganlah yang akan membawa kita kepada kejernihan pikiran. Keheningan akan memperbarui mental dan semangat kita dalam bekerja. Kuncinya adalah di sini: dalam keheningan kita sedang menyerap energi Tuhan dan mendengarkan perkataan-Nya.

*) Penulias adalah Narasumber talkshow Smart Happiness di SmartFM Network.

(diambil dari kolom “Pernik” di Majalah SWA)

Sumber:

Operator Telpon

Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa, kalau putaran di putar, sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata : "Operator". Dan si operator ini maha tahu.

Ia tahu semua nomor telepon orang lain!
Ia tahu nomor telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorangpun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat .... Operator!!!

Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.
" Disini operator..."
" Jempol saya kejepit pintu..." kata saya sambil menangis. Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.

" Apakah ibumu ada di rumah ? " tanyanya.
" Tidak ada orang "
" Apakah jempolmu berdarah ?"
" Tidak , cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali "
" Bisakah kamu membuka lemari es? " tanyanya.
" Bisa, naik di bangku. "
" Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu..."

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu.

Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota sebuah Negara, tanya tentang matematik. Ia juga menjelaskan bahwa tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan , makannya kacang atau buah.

Suatu hari, burung peliharaan saya mati.
Saya telpon sang operator dan melaporkan berita duka cita ini.

Ia mendengarkan semua keluhan, kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa saya terlalu besar. Saya tanya : " Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita sekarang tergeletak tidak bergerak di kandangnya ?"

Ia berkata pelan : " Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain..." Kata - kata ini tidak tau bagaimana bisa menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.
" Disini operator "
" Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan " Disini operator "

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal.
Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian "
operator "
" Disini operator "
Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.
Saya tanya : " Bisa ngga eja kata kukuruyuk "
Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan : "Jempolmu yang kejepit pintu sudah sembuh kan ?"
Saya tertawa. " Itu Anda.... Wah waktu berlalu begitu cepat ya "
Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius : " Saya yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau menelpon "

Saya ceritakan bahwa , ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi. " Tentu, nama saya Saly "

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly.
Suara itu bertanya " Apa Anda temannya ?"
" Ya teman sangat lama "
" Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu..."

Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya : "Maaf, apakah Anda bernama Paul ?"
"Ya "
" Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong kertas, sebentar ya....."
Ia kemudian membacakan pesan Saly :
" Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG MENYANYI DI DUNIA LAIN... Paul akan mengerti kata kata ini...."

Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Jangan sekali sekali mengabaikan, bagaimana Anda menyentuh hidup orang lain.
Sumber:

SELAMAT DATANG

Blog ini adalah media silaturrahmi dan berbagi. Berisi cerita-cerita inspiratif dan menggugah yang kami collect dari berbagai sumber. Mohon ijin dan terima kasih yang luar biasa kepada para inspirator yang telah ikhlas berbagi. Mohon maaf jika ada tulisan yang tak kami sumber aslinya baik karena lupa ataupun memang kami tidak mengetahuinya. Semoga Blog ini Bermanfaat. Amiiiin.