Kamis, 29 September 2011

KOSONG

KOSONG 




SUDAH hampir 11 tahun kita tidak bertemu, Kawan. Sejak kau menerima tawaran, sebulan setelah nama kita mendapat embel- embel di belakang, dan tak sampai enam bulan kemudian kau pergi untuk sebuah ilmu atas permintaan ketua lembaga.

Atasanmu. Kau masih sempat meneleponku di rumah waktu itu, “Aku berangkat malam nanti.”Namun ternyata kau tidak berterima kasih.Sepulang dari Amsterdam kau malah masuk partai sempalan yang menawarimu jabatan lumayan– sekretaris jenderal–katamu karena lewat partai maka perjuangan akan lebih nyata dan mudah bergerak. Sudah lupakah kau dengan cita-citamu di kamar sumpek 3X3 meter yang kita sewa 75.000 sebulan di Pondok Cina–dalam diskusi rutin tiap Sabtu malam yang kita sebut “buka forum” dan kita melakukannya selama lima tahun–kau dengan bersemangat mengatakan bahwa apa pun yang terjadi,cita-cita mengubah negeri ini harus terus berjalan? “Harus ada perubahan di negeri ini.

Kita tak mungkin terus-menerus hidup dalam ketakutan. Soeharto harus turun. Rejim militer ini harus berganti dengan sipil. Pikiranpikiran dan semangat kita bisa diandalkan. Siapa penggerak demonstrasi besar-besaran di Jakarta tahun enam-enam? Pemuda! Mahasiswa! Tiru Arief Rachman Hakim! Contoh Soe Hok Gie!” Bila mengingat itu, aku sering tersenyum karena saat itu kita baru tepat tiga bulan memiliki NRP dan kepala belum terisi penuh.

Sudah lupakah kau dengan kata-katamu di kamar kita itu sampai tengah malam,dini hari, bahkan pagi, sambil sesekali mengutip Lenin, Marx, Pram, Tan, dan makan mi instan– setiap bulan kita melahapnya selama 20 hari di pagi,siang, dan malam–bahwa kau membenci segala gemerlap produk kapitalis yang serbamaterialistis dan memabukkan orangorang muda?

Sudah lupakah kau dengan pikiran-pikiranmu yang tak cuma kau lisankan tetapijugadiselebaran- selebaran yang kau sebar diam-diam di kampus kita bahkan kampuskampus lain melalui temanteman diskusi yang menjadi mahasiswa di sana? Sudah lupakah kau dengan ajakan-ajakanmu yang kau ucapkan sampai tengah malam, dini hari,bahkan pagi, sambil ditemani satu mug besar kopi yang kita minum bergantian di kamar kita yang sumpek itu bahwa kau muak dengan segala budaya hedonisme kaum yuppies kota yang memabukkan orang-orang muda?

Lalu di Kelapa Dua, di kamar kos, seorang rekan dari kampus yang lain yang kau datangi untuk kau pinjam bukunya– biografi Tan Malaka dan Che Guevarra–sekaligus mengembalikan uang 15.000 perak yang pernah kau pinjam untuk makan seminggu, dan kau meminta aku menemani, kau mengulangi kata-kata yang sudah kau ucapkan di kamar kita, kamar teman di Margonda, Lenteng Agung, Kukusan, Beji, dan teman-teman kampus kita sendiri, “Kita harus jadi kaum proletar! Marhaen! Kaum kiri yang antikemapanan! Kita harus jadi pemberontak,pendobrak,pembawa nilai-nilai perubahan!” Dua puluh satu tahun kita waktu itu.

*** Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain bahkan masyarakat– turun ke jalan membawa poster-poster, mengusung spanduk-spanduk,membakar ban-ban bekas di tengah jalan, membakar boneka kertas Pak Harto–waktu itu dengan bangga kita menyebutnya hanya dengan “Soeharto” saja–dan kaus Golkar serta kemeja batikKorpri? Lalu kau naik ke atap metromini dan berteriak, “Harus ada perubahan di negeri ini!

Kita tak mungkin terus-menerus hidup dalam ketakutan! Soeharto harus turun! Rejim militer ini harus berganti dengan sipil! Hidup reformasi! Hidup mahasiswa!! Hidup!! Hidup!!” Masih ingatkah kau ketika kita dan mereka mendobrak gerbang besi kokoh di Senayan setelah pembakaran dan penjarahan Kamis, kemudian taruhan 5.000 perak, siapa di antara kita yang berhasil lebih dahulu sampai di atap gedung menyerupai yoni itu, duduk dan berdiri bersama mahasiswamahasiswa lain yang sudah lebih dahulu? Ah,lumayan untuk bahan cerita kepada anak-cucu nanti.

Masihingatkahkauketikakita– bersama beberapa teman dari kampus-kampus lain–meninggalkan gedungitubeberapajam untuk mengikuti rapat yang dipimpin dua aktivis perempuan di lantai dua Biro Oktrooi Rooseno di samping Bioskop Megaria,dengan gaya layaknya ahli-ahli strategi politik dan penentu arah negeri ini? Bahkan, setiap relawan dari lantai satu naik mengantar masyarakat yang membawa uang–di lantai bawah mereka melayani masyarakat yang menyumbang mi instan, nasi bungkus,

pakaian bekas, obat-obatan, handuk, sabun, sikatgigi,pastagigi,bahkan celana dalam dan pembalut,karena mereka tak diperbolehkan membawa langsung ke Senayan– kita langsung berhenti bicara padahal mereka sama sekali tidak peduli. Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri–menyuruh mahasiswa-mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain untuk antre satu per satu dengan kupon di tangan untuk mengambil nasi bungkus–padahal seorang wartawan ANTARA

sudah mengatakan persetan dengan kupon dan ia menyarankan supaya nasi bungkus diserahkan per dua puluh bungkus karena banyak mahasiswa yang sudah memegang perut akibat udara dingin, atau mendirikan tenda lain sehingga tak hanya di satu titik? Ah,akhirnya nasi bungkus yang bergunung-gunung itu pun rusak oleh hujan dan kemudian terbuang.Bodohnya,Kau.

Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain bahkan masyarakat– berteriak-teriak,berlompat- lompat, menari-nari bagai oranggila,berenangdikolam,lalu saling berpelukan dan menangis– lainnya sujud syukur dan salat–ketika mendengar kabar Pak Harto mengundurkan diri? Kita bagai orang yang terbebas dari siksa neraka,padahal Kamis itu awalnya.

Di sana kita bertemu Dono dan Indro yang ternyata begitu serius. Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain–sore mendatangi Posko SIP1untuk meminta dana dan nasi bungkus karena malamnya akan mengadakan syukuran di Salemba? Ah, betapa lembek dan manja kita.Merengek pada ibu.

Masih ingatkah kau dengan kondom-kondom yang katamu dibuang–bersama milikmu sendiri– di tempat-tempat sampah dan sudut-sudut gelap gedung beratap menyerupai yoni itu? Ah,entah perempuan dari kampusmanadanberapaorangyang terpikat pada kata-katamu selamakitabeberapamalamdisana.

*** Kudengar dari seorang kawan lama yang bertemu denganmu di Komnas HAM dua minggu lalu–dia menjadi wartawan politik sekarang–dan sore empat hari lalu datang ke rumahku, sepulang dari Amsterdam kau menjadi gemar ngobrol di kafe-kafe di Kemang, Darmawangsa Square, Setia Budi One, Cilandak Town Square, atau Plaza Senayan.

Kau juga menjadi gemar ke Vertigo, Embassy, dan Retro katanya, sambil menjauhi Metallica, Nirvana, Sepultura, Pearl Jam,dan Fire House yang sering kita dengar di kamar kita yang sumpek, karena sudah mengakrabi Chemical Brother, Fat Boy Slim, DJ Naro dan DJ Riri–entah siapa mereka. Lalu kuajak kau bertemu di TIM.Tapi kau menolak karena muak melihat calon-calon seniman yang sok nyentrik.

Kusebutkan TUK2. Kau setuju, ada kafe di sana.Katamu siapa tahu bertemu Ayu Utami lantas ditawari ngobrol di Radio 68H.Syukurlah kau tidak berpura-pura lupa karena ‘sudah berbeda’. “Itu hanya penyakit orang idiot.” “Tapi memang benar berbeda, kan? Kafe, diskotek, kartu kredit, mobil, komunikator, sepatu dan pakaian mahal. Minyak wangi bahkan.Kenzo?” ”Armani.” “Tentu kau sudah lebih ‘tenang’ sekarang, tidak lagi gemar menghujat dan mengumpat, sinis dan sarkasme.”

“Maksudmu sejak jerih payahku menjadi aktivis kampus, aktivis 98,dan aktivis LSM,akhirnya terbungkam di partai? Maksudmu karena aku hanyalah boneka sejarah yang berulang– semata 66 kedua?” “Ya.” “Aku senang ke kafe-kafe itu karena nyaman untuk berdiskusi.” “Politik?” “Apa lagi? Kau tahu aku suka politik dan diskusi.” “Lebih nyaman dibanding kamar kita yang sumpek?” “Itu masa lalu.

Waktu berubah. Tak mungkin kita kembali ke sana.” Masa lalu? Seberapa lalu? “Setidaknya tidak perlu di tempat mewah,‘kan?” “Aku tidak menganggapnya mewah.Biasa saja.” “Biasa? Sudah pandai bergoyang disko tentunya sekarang?” “Teman-temanku di Belanda yang mengajari.Aku mengasahnya dua kali seminggu.” “Punya pacar di sana?” “Sekitar satu-dua ada.” “Bule?” “Ya, tentu.Apa lagi? Mereka radikal dalam setiap gerakan. Bahkan,di ranjang.”

“Keturunan Westerling atau Jan Pieterszoon Coen?” Kau tertawa. “Jangan-jangan kau sudah puas pula buang kondom di Rooseburt?” Kau hanya menyengir. “Bawa majalah porno atau alat bantu seks?” “Datanglah ke rumahku.” Padahal aku hanya bercanda! Kalau Sri Bintang Pamungkas bersama kita,pasti ia akan menertawakanmu habishabisan, Kawan.

*** Aku turun di depan Bioskop Megaria dari Kopaja jurusan Senen-Kampung Rambutan. Menyeberang dan menyeberang lagi, berdiri dekat lampu merah di pertigaan ke arah Tugu Proklamasi di selatan. Aku menunggu bis ke arah Blok M.Di sebelah kiri berjongkok dan bersila anak-anak muda gondrong dengan ransel di punggung.Celana blue-jeanskotor, kaos, atau kemeja lengan panjang lusuh digulung, serta sandal jepit dan sepatu bot butut.

Melihat mereka bagaikan melihat diriku 19 atau 18 tahun lalu.Tapi, lukisan Agus Suwagedan Oji Lirungan di Galeri Cipta II tadi lebih menarik kuingat-ingat daripada melihat kekumalan mereka.Lebih baik aku membayangkan rencana menyusul. Bagaimanapun aku ingin berpameran di sana. Aku menyumpah-nyumpah karena bis itu belum juga terlihat. Sekali-sekali aku melihat ke arah kanan.Kalau bis itu datang, aku akan segera menaikinya.

Tak kupeduli sesak.Obrolan- obrolan anak-anak muda kumal itu sudah mulai menusuk- nusuk kepalaku. Aku pening seketika.Kelihatan sekali mereka berusaha atraktif. Bis datang. Aku bergegas naik, begitu pula tiga-empat orang anak muda kumal tadi, berjejal. Mulut mereka terus bicara. Di depan kantor lama PDI, mereka kembali mengulang kalimat yang sama, seperti ingin semua orang di dalam bis mendengarnya.

“Kita orang muda jangan terbuai gemerlap produk kapitalis yang serbamaterialistis. Juga budaya hedonisme kaum yuppies kota. Kita ini harus jadi kaum proletar. Marhaen. Kaum kiri yang anti-kemapanan.Kita harus jadi pemberontak,pendobrak, pembawa nilai-nilai baru.” “Dik,”tegurku. “Ya, apa, Mas?” Seorang dari mereka melihat ke arahku. Lagaknya benar-benar membuatku terkekeh-kekeh.Bocah tengik.Persis aku sepuluh atau sembilan tahun lalu. “Bicara proletar, Dik? Marhaen?” Aku menatap matanya. “Ya, proletar.” Dia menjawab semangat.“Saya proletar. Marhaen.” Aku tetap menatap matanya,“ Omong kosong.”

CHAIRIL GIBRAN RAMADHAN

Lahir di Pondok Pinang, Jakarta Selatan–yang sebagiannya “menjadi” Pondok Indah. Menyelesaikan pendidikan formal di IISIP Jakarta, Lenteng Agung; Cerpennya tampil di Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Lisa, Nova, Swara Cantika, Kartini, Kartika, Annida,

Femina, serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan Yayasan Lontar: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003) dan I Am Woman”(ed. John H. McGlynn, 2011). Antologi tunggal pertamanya Sebelas Colen di Malam Lebaran (Masup Jakarta, 2008). Cerpennya tampil pula dalam antologi bersama: Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, 2010) dan Si Murai dan Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta&KPG, 2010).  
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/430568/       

Senin, 12 September 2011

Cara Tuhan

inggu, 07 Juni 2009 11:01:00 WIB
kick andyMalam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya. Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya untuk proses operasi tersebut.
Soal persetujuan, relatif mudah. Sejak awal saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi terburuk itu.
Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus menghidupi keluarga dengan tiga anak.
Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.
Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. Seandainya kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi tidak tertolong lagi. Saya menyesali tindakan kakak saya yang “menyembunyikan” penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan -- setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya.
Namun ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan dokter untuk biaya operasi. Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat dokter menganjurkan operasi. “Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada jaminan saya akan terus hidup,” ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu, saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.
Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. “Tuhan, sebagai manusia, akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini.” Setelah itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.
Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup kuat sehingga masih saja gundah.
Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan terpaksa menelepon saya karena “keadaan darurat”. Pembicara yang seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya.
Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara lagi untuk acara-acara mereka yang lain.
Sebelum meninggalkan tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara. Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat saya memohon agar saya mau menerimanya.
Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu.
Malam hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. Tuhan, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar. Dengan cara-Mu Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib.
Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan.
Tidak cukup sampai di situ. Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya.
Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia tanggung. Tuhan Maha Besar. 

Keindahan Memberi

Kamis, 30 Juni 2011 17:45:00 WIB

kick andy“Selamat siang Pak Andy. Saya Puri. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuannya bagi operasi tumor otak saya. Semoga Tuhan memberkati Bapak. Puri”. SMS itu saya terima suatu siang. Saya belum pernah bertemu Puri. Saya kenal namanya melalui dr. Eka Julianta, ahli bedah syaraf di RS Siloam Gleneagles Karawaci. Begitu juga wajahnya saya kenali hanya melalui foto yang dikirim dr. Eka. Di foto itu tampak seorang gadis tergolek di ranjang rumah sakit dengan kepala masih dibalut perban. Dia baru selesai dioperasi dan masih mengenakan baju rumah sakit. Ada senyum tipis di bibirnya. Itu saja.
Pada saat itu dr Eka melaporkan operasi terhadap Puri berjalan baik walau tidak seideal yang diharapkan tim dokter. Pasalnya, kondisi Puri sudah sangat berat karena tumor otaknya selama bertahun-tahun dibiarkan tanpa pengobatan memadai. Kemiskinan dan persoalan keluarga menyebabkan penyakit Puri tidak mendapat penanganan semestinya.
Selang beberapa hari setelah menerima foto dari dr Eka, saya mendapat SMS dari ayah Puri. Dia mengucapkan terima kasih karena saya sudah membantu mencari biaya operasi bagi putrinya. Saya katakan saya hanya “jembatan” untuk mempertemukan Puri dengan orang yang bisa membantu dia. Kemudian saya menyebut nama orang yang memberi bantuan biaya operasi untuk Puri.
Setelah itu, saya tidak lagi mendapat kabar tentang Puri. Saya sendiri kembali tenggelam dalam kesibukan. Saya baru teringat kembali pada gadis berusia 21 tahun itu ketika menerima SMS darinya. Pesan singkat itu mengingatkan saya kembali pada kasus yang dihadapi Puri tiga bulan lalu.
Waktu itu, saya mendapat SMS dari dr Eka yang mengabarkan ada pasien bernama Puri membutuhkan bantuan. “Semua biaya dokter gratis. Puri hanya perlu biaya obat-obatan,” tulis dr Eka dalam pesan singkatnya. Dia lalu menyebut jumlah biaya yang dibutuhkan. “Kondisinya sudah gawat. Perlu segera dioperasi. Jika terlambat nyawanya terancam,” dokter Eka menambahkan.
Walau biaya dokter dibebaskan dan rumah sakit tidak perlu dibayar sepenuhnya, biaya operasi tumor otak tetaplah tidak murah, sekitar Rp 40 juta. Setelah menerima SMS dr Eka, saya mencoba memikirkan kepada siapa saya bisa meminta bantuan dana untuk operasi Puri.
Pada waktu itu, yang terlintas wajah seorang pengusaha jamu asal Jawa Tengah. Tapi saya merasa tidak enak hati untuk menghubunginya, mengingat selama ini saya sudah sering meminta bantuan sang pengusaha jamu ini. Terakhir saya meminta bantuannya untuk membelikan kacamata baca untuk anak-anak SD Kampung Dadap, Tangerang, yang baru saja menjalani pemeriksaan mata gratis yang saya selenggarakan di kampung itu. Maka, keinginan untuk meminta bantuan sang pengusaha tersebut saya batalkan. Ada beberapa nama pengusaha dan yayasan yang kemudian muncul dikepala saya, yang saya harapkan bisa membantu biaya operasi Puri. Saya akan menghubungi satu per satu besok.
Boleh percaya boleh tidak, esok pagi, ketika baru bangun tidur, di layar handphone saya ada tanda misscalled empat kali dari pengusaha jamu kenalan saya. Ketika saya telepon balik, dia mengatakan baru saja melihat promo Majalah Kick Andy di Metro TV dan ingin memasang iklan produk jamunya di majalah tersebut. Itu alasan dia menelepon saya pagi-pagi.
Di ujung pembicaraan, secara spontan saya menceritakan kisah Puri yang membutuhkan biaya untuk operasi. Kepadanya saya jelaskan saat itu tim dokter sedang berburu dengan waktu mengingat kondisi Puri cukup parah. Tanpa banyak tanya, dia langsung menyatakan setuju membantu biaya operasi. “Berapa pun biayanya, saya yang tanggung,” ujarnya.
Dia lalu berjanji akan meminta stafnya menindaklanjuti pembicaraan kami itu. Pada saat yang sama terlintas di kepala saya wajah Priska, perempuan tunanetra di Semarang. Priska pernah mendapat penghargaan Kick Andy Hero Award. Dalam keterbatasannya, bersama suaminya Priska menampung dan mengasuh lebih dari seratus anak yatim piatu, anak jalanan, dan anak-anak cacat. Padahal secara fisik dan ekonomi, Priska justru seharusnya yang dibantu.
Kepada sang pengusaha, saya ceritakan kisah Priska. “Apa mungkin Priska juga dibantu?” Tanya saya. Dengan bersemangat sang pengusaha meminta alamat dan nomor telepon Priska. Seminggu kemudian saya mendapat  kabar Priska sudah menerima bantuan Rp 100 juta. Tuhan Maha Besar.
Jujur saja, saat meminta bantuan untuk Puri dan Priska waktu itu, saya merasa tidak enak hati terhadap pengusaha jamu kenalan saya itu. Kepadanya saya berkali-kali meminta maaf karena sering merepotkan dia dengan permintaan-permintaan bantuan untuk orang-orang yang membutuhkan.
Saya semakin merasa tidak enak karena selama ini pengusaha tersebut meminta saya untuk menjadi bintang iklan produk jamunya. Tetapi saya selalu menolak. Selama setahun lebih dia terus membujuk untuk meyakinkan saya bahwa iklan promo tersebut akan disesuaikan dengan misi Kick Andy dan tidak dibuat dengan cara yang komersial. Tapi dengan cara halus saya selalu menghindar.
Bahkan ketika perusahaan tersebut berhasil mengajak mantan wakil presiden dan seorang tokoh ekonomi membintangi produk jamu tersebut, dia kembali “merayu” kesediaan saya. “Saya akan buatkan iklan yang berkelas untuk Anda. Seperti yang saya buat sekarang ini,” ujarnya sambil menunjuk iklan yang mereka buat untuk dua tokoh tadi. Saya tetap mengelak dan mengatakan bahwa sejak awal saya sudah berkomitmen pada diri saya untuk tidak menjadi iklan untuk produk komersial. Saya ingin agar saya dan Kick Andy menjadi milik semua orang. Dengan demikian saya akan lebih leluasa menjalankan kegiatan sosial melalui Kick Andy Foundation.
Nah, dalam situasi selalu menolak permintaannya, sebaliknya saya justru sering meminta bantuannya untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan. Selain merasa tidak enak hati, saya juga khawatir permintaan saya yang terlalu sering itu akan menjadi beban baginya.
“Salah kalau Anda menganggap saya terbebani,” ujar sang pengusaha ketika saya menyampaikan kekhawatiran tersebut. “Bagi saya permintaan Anda itu justru sebuah opportunity. Tidak semua orang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membantu orang lain,” ujarnya. “Melalui Anda, Tuhan memberi saya kesempatan untuk menolong orang,” dia menambahkan.
Pengusaha tersebut lalu mengatakan dia justru berterima kasih kepada saya karena memberi peluang untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. “Mungkin orang lain merasa terbebani, tapi saya sebaliknya. Saya merasa ini kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya untuk berbuat baik.”
Saya tercenung mendengar penjelasannya. Tidak terpikirkan ada orang yang merasa menolong orang lain adalah kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Kesempatan untuk berbuat baik pada orang-orang yang membutuhkan. Sekali lagi saya mendapat pelajaran tentang  keindahan memberi. Terima kasih Tuhan.
SUMBER:

Jumat, 09 September 2011

Rencana Tuhan

Senin, 22 Agustus 2011 21:19:00 WIB
kick andy“Maaf salah sambung”. SMS itu masuk beberapa saat setelah saya mengirim SMS untuk seorang teman. Jawaban yang saya terima dari teman itu membuat saya bertanya-tanya. Mengapa teman saya mengatakan salah sambung? Merasa tidak enak, saya mengirim SMS lagi untuk menyatakan permintaan maaf. Lalu saya cantumkan nama saya di akhir SMS dengan harapan jika itu benar nomor telepon teman saya, maka dia akan menyadari yang mengirim SMS tadi itu saya. Tak lama kemudian handphone saya berdering. Di layar muncul nomor teman saya. “Maaf Pak Andy, nama saya Wahidin. Saya bekerja di Imigrasi,” ujar suara di seberang sana. Ternyata nomor tersebut memang bukan nomor telepon teman saya. Setelah sedikit berbasa-basi saya meminta maaf lalu menutup pembicaraan.
Tidak ada yang istimewa dari peristiwa itu. Saya hanya heran mengapa bisa salah mencatat nomor telepon teman. Tapi sebulan kemudian saya mendapat SMS dari Pak Wahidin. Setelah mengingatkan bahwa SMS saya pernah nyasar ke handphone-nya, dia kemudian menginformasikan  di sebuah desa di Subang ada seorang anak, usianya 9 tahun, yang selama ini menanggung derita karena mengalami kelainan di tubuhnya. Anak itu tidak punya anus. Kalau buang air besar melalui kemaluannya. “Mungkin Pak Andy bisa membantu,” tulis Pak Wahidin sembari menyertakan nama, alamat, dan nomor kontak anak tersebut.
Saya bilang saya tidak berjanji, tetapi akan berusaha mencari orang yang bisa membantu anak tersebut. Setelah itu, saya mengirim kisah anak tersebut via SMS ke seorang pimpinan sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Esoknya saya mendapat jawaban, “Pak Andy, saya masih di Italia. Bisakah saya dapatkan data lebih lengkap dari anak itu? Sesampai di Jakarta akan saya diskusikan dengan tim dokter.”
Dua minggu kemudian, tim Kick Andy sudah menjemput anak tersebut dan membawanya ke Jakarta. Pihak rumah sakit setuju untuk melakukan operasi. Untuk tahap pertama, akan dibuatkan “lubang pembuangan” di perut. Setelah itu baru dibuatkan anus untuk pembuangan permanen.
Tiga hari kemudian, saya menerima SMS dari pimpinan rumah sakit tersebut. “Alhamdulilah operasi berjalan baik. Semoga semuanya berjalan sesuai rencana”. Sejenak saya terhenyak membaca SMS tersebut. Ada rasa haru yang memenuhi relung hati. “Tuhan, terima kasih,” gumam saya dalam hati. Sungguh saya tidak menyangka semua berjalan begitu cepat dan lancar. Bahkan pihak rumah sakit memperlakukan Ani sangat istimewa. Semua kebutuhan Ani dan ayahnya selama di Jakarta semuanya ditanggung rumah sakit.
Malamnya saya merenung. Ah, kalau dipikir seringkali rencana Tuhan sulit dipahami akal manusia. Termasuk sulit bagi saya memahami mengapa saya salah mencatat nomor handphone teman saya. Sulit memahami mengapa Pak Wahidin yang saya kenal gara-gara salah sambung menginformaskan kondisi seorang anak nun jauh di sebuah desa
kecil di Subang yang membutuhkan pertolongan.  Juga sulit dipahami oleh akal manusia respon rumah sakit yang bersedia melakukan operasi gratis. Padahal, operasi semacam itu tentu membutuhkan biaya yang besar. Pimpinan rumah sakit itupun baru saya kenal dan kami baru sekali bertemu.
Akal manusia memang tidak akan pernah mampu mencerna rencana Tuhan. Rencana Tuhan hanya mampu dicerna melalui iman. Karena itu saya meyakini semua yang terjadi itu bukan sesuatu yang kebetulan. Sejak saya salah mencatat nomor telepon teman, sebenarnya Tuhan sudah “mengatur” untuk mempertemukan saya dengan Ani. Kemudian melalui SMS “nyasar”, Tuhan menghubungkan saya dengan Pak Wahidin. Melalui Pak Wahidin Tuhan memberi tahu ada seorang anak di Subang yang membutuhkan bantuan. Kemudian Tuhan “memerintahkan” saya untuk menghubungi pimpinan rumah sakit tersebut. Lalu semuanya berakhir dengan operasi oleh tim dokter terhadap Ani.
Sejak awal, Tuhan sudah mengatur semuanya untuk Ani. Pak Wahidin, pimpinan rumah sakit, dokter-dokter yang mengoperasi, dan semua pihak yang ikut membantu -- termasuk saya -- hanya mendapat “tugas” untuk menolong Ani.  Setelah memahami semua itu, saya lalu tersenyum.  “Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengikutsertakan aku untuk menjalankan suatu misi mulia.”
Sumber: 

MANAJEMEN WAKTU

Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara didepan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan oleh para siswanya. Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata: "Baiklah, sekarang waktunya kuis " Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya diatas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu kedalam toples.

Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk kedalamnya, dia bertanya: "Apakah toples ini sudah penuh?" Semua siswanya serentak menjawab,"Sudah! "

Kemudian dia berkata, Benarkah? Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang- guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu itu. Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi: "Apakah toples ini sudah penuh? Kali ini para siswanya hanya tertegun "Mungkin belum!", salah satu dari siswanya menjawab. "Bagus!" jawabnya.

Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan. Sekali lagi dia bertanya, Apakah toples ini sudah penuh? "Belum!" serentak para siswanya menjawab Sekali lagi dia berkata, "Bagus!" Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas. Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kepada para siswanya dan bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?" Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab, "Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya!" "Bukan!", jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa : JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES TERSEBUT.

Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk memperhatikannya. Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam hidupmu".

Sumber: Milis

Rabu, 07 September 2011

Buku Wirausaha "Sukses di Usia Muda" (1) Mengepakkan Sayap Bisnis dari Titik Nol

SELASA, 20 APRIL 2010 | 01:33 WITA | 23324 Hits


Amran Sulaiman, Amirullah Abbas, Mawardi Jafar
TIDAK banyak orang mampu menggali ide kemudian sukses menjadi entrepreneur atau wirausaha, apalagi di usia yang terbilang masih muda.

Berawal dari titik nol, delapan entrepreneur muda Makassar mendobrak keterbatasan menjadi keberhasilan. Dari buku terbitan eLSIM berjudul Sukses di Usia Muda, Harian Fajar menurunkan nukilan sosok dan kiprah wirausahawan Makassar. Berikut tulisan pertama kesuksesan mereka.

KESUKSESAN hak semua orang dan bukan monopoli orang tertentu. Prinsip ini menjadi pegangan pengusaha berdarah Bugis, Amran Sulaiman, mencapai kesuksesannya yang bermula sebagai peneliti kemudian berkembang menjadi pengusaha pembasmi hama tikus temuannya sendiri.

Tujuh perusahaan kini dipimpin ayah empat anak kelahiran Bone, 27 April 1968 itu. PT Tiran Indonesia, CV Empos Tiran, CV Profita Lestari, CV Empos, PT Amrul Nadin, PT Tiran Sulawesi, dan PT Titan Bombana berhasil dibawanya pada titik kesuksesan sebagai implementasi bahwa sukses milik semua orang.

Perusahaan itu tidak terbangun begitu saja dan bukan warisan orangtua. Butuh modal kedisiplinan, keyakinan, kreasi, ketekunan, serta optimisme yang tinggi untuk membesarkannya. Makna kejujuran senantiasa dicontohkan kepada karyawannya untuk membesarkan usaha yang dimulai dari nol.

Pergulatan hidup yang cukup panjang membawanya pada satu masa menaklukkan kegagalan. Amran memulai usahanya dengan model industri rumah tangga. Perusahaan bernama CV Empo Tiran yang didirikan 1996 memproduksi alat serta racun hama tikus dan mendistribusikannya sendiri.

Racun tikus Tiran 58PS dan alat pembasmi tikus Alpostran yang diproduksinya merupakan hasil temuannya sendiri. Temuan yang sangat bermanfaat bagi petani itu juga yang mengantarnya menerima Satyalencana dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Juli 2009 lalu di Palembang.

Amran meneliti Tiran 58 PS dan Alpostran sejak Desember 1989 hingga 1992. Ujicoba dalam kurun waktu 1992-1998 menunjukkan hasil memuaskan berupa respons petani yang tinggi.

Permintaan terus meningkat mulai hanya seratus dus dari 15 provinsi pada 2003 tumbuh menjadi 2000 dus, 20 ribu dus, hingga 40 ribu dus. Temuannya kini bahkan sudah dimanfaatkan petani pada 168 kabupaten yang tersebar di 26 provinsi se Indonesia.

Mengenai nama Tiran dan Alpostran, sebenarnya merupakan singkatan yang dirancangnya sendiri. Tiran kepanjangan "Tikus Diracun Amran" dan Alpostran "Alat Empos Tikusnya Amran". Keduanya racun tikus menggunakan sistem pengasapan.

Kendati hanya industri rumah tangga, CV Empo Tiran yang pertama kali didirikan Amran menyerap tenaga kerja 300-400 orang saat berproduksi. Kapasitas produksinya sekira 40 ribu batang selama dua sampai tiga bulan.

Menjadi peneliti sekaligus wirausaha sebenarnya bukanlah cita-cita Amran ketika muda. Pengalaman getir yang dirasakannya membentuk pandangan dan pemikirannya melihat sosok tentara sebagai gambaran manusia ideal. Maka sejak kecil, suami dari Martati itu rajin berolahraga, syarat menjadi perwira.

Namun, impian kadang tidak sesuai kenyataan. Tamat SMA di Bone, dia mendaftar pendidikan menjadi tentara juga ikut tes Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

Kedua pilihannya itu menjadi simalakama tatkala pengumuman menyatakan Amran lulus mengikuti pendidikan menjadi tentara dan tes di Unhas. Disebut simalakama, karena tentara merupakan cita-cita yang sudah disiapkannya selama enam tahun dan di sisi lain, ibunya tidak merestui menjadi tentara.

Impian menjadi tentara harus dikuburnya demi membahagiakan sang bunda. Baginya, tak ada artinya cita-cita besar terkabul tanpa restu sang Bunda. Kemantapan hati menetapkan pilihan kuliah di Fakultas Pertanian mengantarnya menjadi peneliti dan pengusaha muda sukses.

Wirausaha yang sudah muncul sejak kecil juga membuat Amirullah Abbas kini memiliki aset hingga Rp 164 miliar. Direktur Utama PT Andatu Lestary yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan sawit ini bukan berasal dari keluarga kaya nan terpandang.

Ayah pengusaha kelahiran 21 Januari 1975 itu hanya seorang petani di Desa Tamanyeleng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Ibunya juga hanya seorang ibu rumah tangga. Namun didikan kedua orangtuanya membuatnya lebih mandiri sejak kecil.

Kewirausahaan sudah dilakoni Amirullah sejak kecil dengan menanam sayuran lalu menjualnya ke pasar. Bakat ini tak disadarinya, karena dia merasa senang mendapatkan uang dari usaha sendiri, serta orangtuanya mengarahkan agar menjadi karyawan sukses di perusahaan atau paling tidak menjadi pegawai negeri sipil. Dia juga pernah bermimpi menjadi polisi meskipun akhirnya harus terkubur.

Tamat dari MAN 1 Ujungpandang tahun 1994, Amir memilih bekerja di perusahaan kayu di Sulawesi Tenggara, PT Tridaya. Keuletan, kerja keras, dan profesionalisme mendorong kariernya melejit cepat. Dia juga pandai mengatur waktu merampungkan kuliah di STIE Makassar.

Suasana yang mulai tidak nyaman di tempat kerja yang sudah digelutinya selama tujuh tahun membuatnya memilih; bertahan atau berhenti. Beruntung selama menjadi karyawan Amirullah cakap membangun relasi di luar Sulawesi.

Otak bisnisnya mulai jalan. Dia melobi relasinya di Jakarta agar diberi alat berat dan dibayar dengan kayu. Trik bisnisnya itu jitu juga. Kurang dari enam bulan, Amirullah sudah memiliki lebih dari sepuluh unit alat berat dan terus berkembang hingga omzetnya tumbuh positif.

Cobaan pernah dialaminya dan membuatnya harus banting setir memilih bidang usaha lain. Kebijakan pemerintah menyelamatkan hutan tidak hanya memberantas illegal logging, tetapi juga membuat bisnis legal logging terganggu, hingga akhirnya dia harus menutup perusahaan kayunya.

Jiwa entrepreneurship membuatnya terus bangkit dan tidak larut dalam kegagalan mempertahankan usaha. Bermodalkan alat berat, Amirullah membuka usaha tambang. Kebetulan dia memiliki lahan yang di dalamnya terdapat bijih nikel dan batubara.

Tahun 2006 hingga 2008 merupakan masa emas komoditi nikel. Banyak permintaan dari dalam dan luar negeri. Usahanya memang padat modal, tetapi pasarnya sangat bagus dan harga produksinya tinggi.

Hanya saja, manisnya keuntungan dari bisnis bijih nikel tidak selamanya bertahan. Pasar nikel menurun pada 2008 akibat krisis global hingga akhirnya pada 2009 usaha pertambangannya ditutup sementara karena tingginya biaya produksi yang berbanding terbalik dengan omzet penjualan.

Tapi di sisi lain, lahan tambang batubaranya di Kutai Kertanegara, Kalimantan justru membuahkan keberuntungan. Harga yang tinggi dan permintaan dari China dan India yang besar tak dilewatkannya begitu saja. Didukung modal dan alat berat yang masih produktif, Amirullah mengeksploitasi lokasi tambang miliknya yang telah mendapat izin penambangan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Makassar itu kini memiliki lebih dari 100 unit alat berat. Dia juga mengepakkan sayap bisnis dengan ekspansi usaha perkebunan kelapa sawit di Morowali, perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.

Kepercayaan selalu diberikan Amirullah kepada karyawannya. Kunjungan ke lokasi tambang di Kalimantan pun jarang dilakukannya. Alasannya sederhana, dia tak ingin mengintervensi kebijakan karyawan yang sudah diberi kepercayaan penuh.

Ada lebih dari seribu nyawa menggantungkan hidupnya pada PT Andatu Lestary yang didirikannya. Ini juga yang menjadi alasan mengapa Amirullah memberi kepercayaan penuh kepada karyawannya. Setiap karyawan pasti akan memberikan hasil terbaik.

Amirullah mengaku sukses menjadi penambang kelas besar tidak datang begitu saja. Selain dukungan keluarga, kejujuran dan kegigihan dalam bekerja menjadi modal utamanya. Prinsip ini ditanamkan orangtuanya yang petani sejak kecil.

Disadarinya, orangtuanya tidak memberi modal berupa harta benda, tapi nasihat pentingnya kejujuran. Nasihat inilah yang membuatnya sukses seperti sekarang. Amir berpesan agar tidak cepat berputus asa menggeluti kehidupan.

Talenta entrepreneurship tidak hanya didominasi kaum laki-laki saja. Andi Indrimilacahaya, perempuan kelahiran Makassar, 21 Juli 1966, memiliki talenta melalui kecerdasan mendesain gambar.

Peluang menggeliatnya tren mode baju rajutan di kalangan kaum muda pernah ditangkapnya dengan membuka bisnis wirausaha. Dia terjun langsung berburu ke Kota Bandung mencari orang yang akan memasarkan barangnya. Namun, karena keterbatasan modal, sehingga usaha itu tidak berkembang.

Alumni Fakultas Ekonomi Unhas tahun 1991 yang pernah mencoba menjadi karyawan PT Pertamina ini lalu merintis usaha lembaga pendidikan Bahasa Inggris. Pada 12 Maret 1996, Briton International English School didirikannya.

Usaha ini dirintis berdasarkan pengalamannya saat mendalami Bahasa Inggris untuk bersaing di tengah lautan pencari kerja di Jakarta. Tanpa kemampuan bahasa internasional, seseorang sangat sulit berkompetisi.

Saat pertama kali membuka usaha, Indri hanya mempunyai satu staf administrasi dan tujuh siswa di kelas pertamanya. Modal keberanian serta visi yang sangat kuat membuat usahanya terus melaju.

Usaha lembaga kursus memiliki karakteristik berbeda dibanding usaha lain yang fokus mengejar profit. Bisnis jasa pendidikan sangat dekat dengan kepentingan publik. Produk yang ditawarkan sangat mengandalkan kualitas.

Menjadi entrepreneur sejati memiliki kemampuan memaksimalkan sumber daya yang terbatas. Wirausahawan juga harus cerdas membidik potensi pasar. Indri memilih kelas menengah sebagai segmennya.

Getirnya hidup memulai usaha juga pernah dialami bos Mawar Advertising, Mawardi Jafar. Berdagang penganan jalangkote yang membuatnya terluka di bagian punggung karena terkena kawat berduri ketika dikejar satpam hingga memulung pernah dilakukannya ketika masih kecil.

Jiwa wirausaha yang telah tertempa sejak kecil dan beberapa tahun berada dalam kondisi usaha yang kembang kempis, Mawardi sukses berkarier di bidang periklanan. Dia mendapat kepercayaan mengelola pembuatan spanduk iklan dan segala promosi outdoor PT Astra International Honda Sales Operation.

Mulanya, dia hanya merekrut seorang karyawan kemudian terus bertambah seiring perkembangan usahanya. Mawar Advertising merupakan perusahaan perintis bisnis digital printing di Makassar.

Kemampuannya membaca peluang pasar serta talenta mengelola ceruk pasar sangat menonjol. Motivasinya untuk belajar juga sangat tinggi. Berbagai macam ilmu seperti manajemen, pemasaran, strategi bisnis diperolehnya dari berbagai seminar. Pengidola Bob Sadino ini pernah ke China mengikuti eksibisi yang dianggapnya penting bagi pengembangan diri dan usahanya.

Kini, Mawardi telah menjadi direktur utama pada tiga perusahaan yang dirintisnya. Mawardi Advertising bergerak di bidang percetakan digital printing, Mitra Pariwara Nusantara menjadi penyalur alat-alat percetakan digital bagi perusahaan percetakan yang tumbuh bak jamur di musim hujan, serta Daeng Indonesia memproduksi t-shirt bercorak lokal untuk memperkenalkan alam dan budaya Sulawesi Selatan. (harifuddin)