Senin, 04 April 2011

Midin Muhidin, Ekspor Lintah Hingga ke China




Senin, 04 April 2011 10:20
Menjijikkan tapi menguntungkan. Begitulah slogan Midin Muhidin, pengusaha dari Depok, Jawa Barat, dalam mengibarkan usaha lintahnya. Di tangannya, binatang penghisap darah ini justru membawa berkah dan rezeki. Baru setahun lebih usahanya berjalan, ia sudah bisa mengantongi omzet hingga Rp 120 juta per bulan.

midin_mBerawal dari memerhatikan terapi lintah untuk kesehatan, Midin bertekad untuk mulai membudidayakan lintah. Ia pikir budidaya lintah adalah peluang bisnis yang sangat bagus. Dengan modal awal Rp 10 juta, ia memulai usaha pada September 2009. Badan usaha peternakan lintah yang didirikannya dinamai CV Enha Farm. Ia beruntung karena lahan budidaya yang ia pakai adalah milik saudaranya.

Midin terus sambil mempelajari manfaat lintah sebagai alat terapi dari bermacam referensi secara otodidak. Ia menemukan fakta bahwa lintah bisa mengobati bermacam penyakit termasuk diabetes dan stroke. Saat lintah menyedot darah kotor, binatang tersebut juga melepas zat hirudinnya yang berfungsi sebagai antikoagulan yang dapat mencegah penggumpalan darah.

Tapi, tak sembarang lintah bisa dipakai untuk terapi. Hanya lintah jenis Hirudo medicinalis atau Hirudo spinalis yang bisa digunakan sebagai sarana terapi. Di Indonesia, lintah ini dikenal dengan nama lintah kerbau. Lintah kerbau hanya hidup di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Makanya, negara-negara barat selalu mencari lintah kerbau ke negara-negara tersebut dengan jumlah permintaan yang tinggi. "Thailand dan Malaysia sudah lebih dulu mengekspor lintah," tutur Midin.

Menurut Midin, budidaya lintah cukup mudah lantaran tidak membutuhkan lahan yang luas. Biaya budidaya pun sangat murah. Ia bisa menampung sekitar 1.000 ekor lintah dalam satu bak berukuran 2x3 meter hanya dengan memberi pompa oksigen. Air diganti setiap dua pekan sekali. Risiko paling besar hanya polutan seperti asap rokok yang mampu menimbulkan risiko kematian si lintah.

Permintaan lintah untuk terapi memang sangat banyak. Di bulan ketiga usahanya, Midin sudah mencetak omzet hingga Rp 75 juta. Sebulan kemudian, penjualannya mencapai Rp 100 juta. Di awal tahun 2010, CV Enha Farm sudah mencatat penjualan lintah Rp 120 juta per bulan.

Ia menjual 10.000 lintah per pekan untuk terapi dengan harga Rp 3.000 per ekor. Dari total penjualan Rp 120 juta sebulan, Midin mengantongi keuntungan hingga separuhnya, Rp 60 juta.

Awal tahun 2010, Midin pun sudah mengekspor lintah ke China dalam bentuk lintah kering. Lintah kering merupakan bahan baku kosmetik di China. Lintah-lintah kering ini akan diolah kembali menjadi tepung. Selanjutnya Midin harus mengirim satu ton lintah kering per bulan dengan masa kontrak dua tahun. Namun sayang, kesempatan itu harus ditolaknya karena tidak ada stok. Meski kekurangan pasokan, Midin tak lantas kekurangan akal. Lahan miliknya yang terbatas membuat ia membuka peluang kerjasama bagi pembudidaya lintah dari daerah yang lain. Kemitraan ini dimulai pada November 2010.

Hingga kini, 50 petani lintah yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok, dan Papua sudah menjadi mitra Enha. Midin bilang, sistem kerjasama yang ditawarkannya sangat menguntungkan. Mitra Enha wajib memasok lintah yang dalam tiga bulan pertama tidak ditentukan jumlah minimalnya. Midin akan membeli lintah-lintah itu seharga Rp 3.000 per ekor dikurangi biaya 30 persen. "Setiap lintah saya beli dengan harga Rp 2.100," katanya. Kalau kapasitas produksinya bertambah, ia bakal bisa terus memasok lintah untuk industri kosmetik di China dan Korea Selatan.

Untuk menambah pasokan lintah, ia berniat membeli lahan seluas 12 hektare di Sukabumi. Namun, dia masih terkendala masalah dana. "Usaha lintah kan termasuk usaha yang aneh, jadi kami sulit mencari pendanaan," katanya yang masih mengandalkan modal sendiri.

Midin juga mempromosikan usahanya ke pasar ekspor melalui situs lintahindonesia.com. Dari situs inilah beberapa permintaan lintah kering masuk. (*/Kontan
Sumber: