Rabu, 09 Mei 2012

Sehari Bersama Pak Guru Kakao Tanah Mandar

Sekitar dua tahun lalu, Kompas mengulas tentang profil seorang petani tua sekaligus mantan penyuluh pertanian  dari tanah Mandar. yang sukses mengembangkan kakao dengan teknik sambung samping, dan hasilnya bisa membuat orang yang melihatnya berdecak kagum.
kakao hasil Sambung Samping haji Malik (Dok. Sribudi Astuti)
kakao hasil Sambung Samping Haji Malik (Dok. Sribudi Astuti)
Sekitar dua bulan lalu, selepas acara Kompasiana Nangkring di Makassar, saya berkesempatan mengunjungi Pak Haji Malik, Sang guru kakao yang tinggal di Mamuju. Senin siang selepas menyelesaikan seluruh kegiatan saya di Ibukota Kabupaten Mamuju, saya bersama seorang teman dan dipandu salah seorang putra haji Malik, kami  berkendara menyusuri jalan trans sulawesi sejauh 30 kilometer kearah utara. Kami sampai di Rumah haji Malik tepat tengah hari, tetapi sayangnya Haji Malik Sedang berada di kebun yang katanya hanya berjarak 2 km saja dari rumahnya.
Pikir saya jarak segitu tidak terlalu jauh, tetapi ternyata sepanjang jalan saya mengumpat “wah kalau ini mah 2 km nya dalam ukuran para raksasa” saking jauhnya. ketika berbelok dari jalan trans Sulawesi, kami memasuki kawasan perkebunan yang sunyi, mirip hutan, saya langsung berpikir, kok Haji Malik berani ya ke kebun yang sepi begini.
Wajah saya yang jutek karena panik melewati kebun yang sepi, serta jalanan yang berbatu dan naik turun langsung menguap ketika memasuki batas kebun milik Haji Malik. begitu memasuki ‘pintu utama’kebun, saya dihadapkan pada pohon kakao yan sarat buah, mengkilat dan ranum. Seorang lelaki tua kemudian keluar dari pondok dan menyambut kami dengan keramahannya dan menerima kami berbincang-bincang di kolong rumah panggung yang sekaligus berfungsi sebagai ‘kelas’ bagi siapa saja yang ingin belajar tentang kakao.
Dengan panjang lebar Haji Malik menceritakan sepak terjangnya sebagai penyuluh, sebagai petani dan tak lupa beliau juga menunjukkan tulisan tentang dirinya di koran Kompas yang dicopy dan dicetak di spanduk fiber yang terpajang di kolong rumah panggung.
Haji Malik dibawah Koran Kompas yang memuat tentang dirinya (sribudi Astuti)
Haji Malik dibawah Koran Kompas yang memuat tentang dirinya (sribudi Astuti)
Saking semangatnya, tanpa saya minta Haji Malik mengajak saya berkeliling kebun kakaonya, yang hampir semuanya sudah diremajakan dengan teknik sambung samping, dan saat ini Haji malik juga sedang mempersiapkan bahan tanam yang akan dijadikan sebagai bahan teknik sambung pucuk.
kakao siap panen(Dok. Sribudi Astuti)
kakao siap panen(Dok. Sribudi Astuti)
ketika saya berkeliling kebun, ternyata jauh didalam kebun terdapat sekelompok mahasiswa yang sudah hampir dua bulan tinggal bersama Haji Malik untuk menimba ilmu tentang budidaya kakao. Dengan senang hati pula Haji Malik mengarahkan mahasiswa tersebut untuk bekerja sesuai prosedur.
Mahasiswa yang berguru pada haji Malik (Dok. Sribudi Astuti)
Mahasiswa yang berguru pada haji Malik (Dok. Sribudi Astuti)
Dalam kebun Haji Malik terdapat berbagai macam Klon Kakao, ada dari Medan, Filipina, Puslit Kopi Kakao dan Klon R1 dan R2 hasil sambung samping Haji malik Sendiri. Memang banyak perbedaannya, hasil sambung samping dari Haji Malik dengan kakao dari Puslit Kopi Kakao, saya menduga, kakao yang bagus ditanam di jawa, belum tentu cocok dengan iklim di Sulawesi Barat, begitu pula sebaliknya.
Haji Malik tidak hanya fokus padda kakao, didalam kebunnya juga terdapat kambing kambing yang diberi makan daun lamtoro yang tumbuh sebagai penaung tanaman kakao dan kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman kakao.
Tanpa sengaja, saya nyeletuk mengapa Haji Malik di masa tuanya masih mau bersusah-susah hidup di kebun sepi seperti itu, padahal dari hasil pensiun dan hasil kebun seandainya didelegasikan pengelolaannya pada orang lain pasti lebih dari cukup untuk menopang hidup. ternyata, prinsip seorang penyuluh yang tidak hanya omong doang benar-benar dipegang. Jangan sampai sebagai seorang yang mengajari orang lain, tidak bisa memberi contoh nyata.. hem.. prinsip sederhana yang mengena.
Tepat sore hari saya mohon diri pada Haji Malik untuk kembali ke Makassar, dengan berat hati saya meninggalkan kebun itu, karena masih banyak hal yang ingin saya pelahjari, tapi apalah daya, saya harus mengejar bis tujuan Makassar dan kembali bekerja lagi keesokan harinya.