Kamis, 29 September 2011

KOSONG

KOSONG 




SUDAH hampir 11 tahun kita tidak bertemu, Kawan. Sejak kau menerima tawaran, sebulan setelah nama kita mendapat embel- embel di belakang, dan tak sampai enam bulan kemudian kau pergi untuk sebuah ilmu atas permintaan ketua lembaga.

Atasanmu. Kau masih sempat meneleponku di rumah waktu itu, “Aku berangkat malam nanti.”Namun ternyata kau tidak berterima kasih.Sepulang dari Amsterdam kau malah masuk partai sempalan yang menawarimu jabatan lumayan– sekretaris jenderal–katamu karena lewat partai maka perjuangan akan lebih nyata dan mudah bergerak. Sudah lupakah kau dengan cita-citamu di kamar sumpek 3X3 meter yang kita sewa 75.000 sebulan di Pondok Cina–dalam diskusi rutin tiap Sabtu malam yang kita sebut “buka forum” dan kita melakukannya selama lima tahun–kau dengan bersemangat mengatakan bahwa apa pun yang terjadi,cita-cita mengubah negeri ini harus terus berjalan? “Harus ada perubahan di negeri ini.

Kita tak mungkin terus-menerus hidup dalam ketakutan. Soeharto harus turun. Rejim militer ini harus berganti dengan sipil. Pikiranpikiran dan semangat kita bisa diandalkan. Siapa penggerak demonstrasi besar-besaran di Jakarta tahun enam-enam? Pemuda! Mahasiswa! Tiru Arief Rachman Hakim! Contoh Soe Hok Gie!” Bila mengingat itu, aku sering tersenyum karena saat itu kita baru tepat tiga bulan memiliki NRP dan kepala belum terisi penuh.

Sudah lupakah kau dengan kata-katamu di kamar kita itu sampai tengah malam,dini hari, bahkan pagi, sambil sesekali mengutip Lenin, Marx, Pram, Tan, dan makan mi instan– setiap bulan kita melahapnya selama 20 hari di pagi,siang, dan malam–bahwa kau membenci segala gemerlap produk kapitalis yang serbamaterialistis dan memabukkan orangorang muda?

Sudah lupakah kau dengan pikiran-pikiranmu yang tak cuma kau lisankan tetapijugadiselebaran- selebaran yang kau sebar diam-diam di kampus kita bahkan kampuskampus lain melalui temanteman diskusi yang menjadi mahasiswa di sana? Sudah lupakah kau dengan ajakan-ajakanmu yang kau ucapkan sampai tengah malam, dini hari,bahkan pagi, sambil ditemani satu mug besar kopi yang kita minum bergantian di kamar kita yang sumpek itu bahwa kau muak dengan segala budaya hedonisme kaum yuppies kota yang memabukkan orang-orang muda?

Lalu di Kelapa Dua, di kamar kos, seorang rekan dari kampus yang lain yang kau datangi untuk kau pinjam bukunya– biografi Tan Malaka dan Che Guevarra–sekaligus mengembalikan uang 15.000 perak yang pernah kau pinjam untuk makan seminggu, dan kau meminta aku menemani, kau mengulangi kata-kata yang sudah kau ucapkan di kamar kita, kamar teman di Margonda, Lenteng Agung, Kukusan, Beji, dan teman-teman kampus kita sendiri, “Kita harus jadi kaum proletar! Marhaen! Kaum kiri yang antikemapanan! Kita harus jadi pemberontak,pendobrak,pembawa nilai-nilai perubahan!” Dua puluh satu tahun kita waktu itu.

*** Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain bahkan masyarakat– turun ke jalan membawa poster-poster, mengusung spanduk-spanduk,membakar ban-ban bekas di tengah jalan, membakar boneka kertas Pak Harto–waktu itu dengan bangga kita menyebutnya hanya dengan “Soeharto” saja–dan kaus Golkar serta kemeja batikKorpri? Lalu kau naik ke atap metromini dan berteriak, “Harus ada perubahan di negeri ini!

Kita tak mungkin terus-menerus hidup dalam ketakutan! Soeharto harus turun! Rejim militer ini harus berganti dengan sipil! Hidup reformasi! Hidup mahasiswa!! Hidup!! Hidup!!” Masih ingatkah kau ketika kita dan mereka mendobrak gerbang besi kokoh di Senayan setelah pembakaran dan penjarahan Kamis, kemudian taruhan 5.000 perak, siapa di antara kita yang berhasil lebih dahulu sampai di atap gedung menyerupai yoni itu, duduk dan berdiri bersama mahasiswamahasiswa lain yang sudah lebih dahulu? Ah,lumayan untuk bahan cerita kepada anak-cucu nanti.

Masihingatkahkauketikakita– bersama beberapa teman dari kampus-kampus lain–meninggalkan gedungitubeberapajam untuk mengikuti rapat yang dipimpin dua aktivis perempuan di lantai dua Biro Oktrooi Rooseno di samping Bioskop Megaria,dengan gaya layaknya ahli-ahli strategi politik dan penentu arah negeri ini? Bahkan, setiap relawan dari lantai satu naik mengantar masyarakat yang membawa uang–di lantai bawah mereka melayani masyarakat yang menyumbang mi instan, nasi bungkus,

pakaian bekas, obat-obatan, handuk, sabun, sikatgigi,pastagigi,bahkan celana dalam dan pembalut,karena mereka tak diperbolehkan membawa langsung ke Senayan– kita langsung berhenti bicara padahal mereka sama sekali tidak peduli. Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri–menyuruh mahasiswa-mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain untuk antre satu per satu dengan kupon di tangan untuk mengambil nasi bungkus–padahal seorang wartawan ANTARA

sudah mengatakan persetan dengan kupon dan ia menyarankan supaya nasi bungkus diserahkan per dua puluh bungkus karena banyak mahasiswa yang sudah memegang perut akibat udara dingin, atau mendirikan tenda lain sehingga tak hanya di satu titik? Ah,akhirnya nasi bungkus yang bergunung-gunung itu pun rusak oleh hujan dan kemudian terbuang.Bodohnya,Kau.

Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain bahkan masyarakat– berteriak-teriak,berlompat- lompat, menari-nari bagai oranggila,berenangdikolam,lalu saling berpelukan dan menangis– lainnya sujud syukur dan salat–ketika mendengar kabar Pak Harto mengundurkan diri? Kita bagai orang yang terbebas dari siksa neraka,padahal Kamis itu awalnya.

Di sana kita bertemu Dono dan Indro yang ternyata begitu serius. Masih ingatkah kau ketika kita–bersama mahasiswa dari kampus kita sendiri dan kampus- kampus lain–sore mendatangi Posko SIP1untuk meminta dana dan nasi bungkus karena malamnya akan mengadakan syukuran di Salemba? Ah, betapa lembek dan manja kita.Merengek pada ibu.

Masih ingatkah kau dengan kondom-kondom yang katamu dibuang–bersama milikmu sendiri– di tempat-tempat sampah dan sudut-sudut gelap gedung beratap menyerupai yoni itu? Ah,entah perempuan dari kampusmanadanberapaorangyang terpikat pada kata-katamu selamakitabeberapamalamdisana.

*** Kudengar dari seorang kawan lama yang bertemu denganmu di Komnas HAM dua minggu lalu–dia menjadi wartawan politik sekarang–dan sore empat hari lalu datang ke rumahku, sepulang dari Amsterdam kau menjadi gemar ngobrol di kafe-kafe di Kemang, Darmawangsa Square, Setia Budi One, Cilandak Town Square, atau Plaza Senayan.

Kau juga menjadi gemar ke Vertigo, Embassy, dan Retro katanya, sambil menjauhi Metallica, Nirvana, Sepultura, Pearl Jam,dan Fire House yang sering kita dengar di kamar kita yang sumpek, karena sudah mengakrabi Chemical Brother, Fat Boy Slim, DJ Naro dan DJ Riri–entah siapa mereka. Lalu kuajak kau bertemu di TIM.Tapi kau menolak karena muak melihat calon-calon seniman yang sok nyentrik.

Kusebutkan TUK2. Kau setuju, ada kafe di sana.Katamu siapa tahu bertemu Ayu Utami lantas ditawari ngobrol di Radio 68H.Syukurlah kau tidak berpura-pura lupa karena ‘sudah berbeda’. “Itu hanya penyakit orang idiot.” “Tapi memang benar berbeda, kan? Kafe, diskotek, kartu kredit, mobil, komunikator, sepatu dan pakaian mahal. Minyak wangi bahkan.Kenzo?” ”Armani.” “Tentu kau sudah lebih ‘tenang’ sekarang, tidak lagi gemar menghujat dan mengumpat, sinis dan sarkasme.”

“Maksudmu sejak jerih payahku menjadi aktivis kampus, aktivis 98,dan aktivis LSM,akhirnya terbungkam di partai? Maksudmu karena aku hanyalah boneka sejarah yang berulang– semata 66 kedua?” “Ya.” “Aku senang ke kafe-kafe itu karena nyaman untuk berdiskusi.” “Politik?” “Apa lagi? Kau tahu aku suka politik dan diskusi.” “Lebih nyaman dibanding kamar kita yang sumpek?” “Itu masa lalu.

Waktu berubah. Tak mungkin kita kembali ke sana.” Masa lalu? Seberapa lalu? “Setidaknya tidak perlu di tempat mewah,‘kan?” “Aku tidak menganggapnya mewah.Biasa saja.” “Biasa? Sudah pandai bergoyang disko tentunya sekarang?” “Teman-temanku di Belanda yang mengajari.Aku mengasahnya dua kali seminggu.” “Punya pacar di sana?” “Sekitar satu-dua ada.” “Bule?” “Ya, tentu.Apa lagi? Mereka radikal dalam setiap gerakan. Bahkan,di ranjang.”

“Keturunan Westerling atau Jan Pieterszoon Coen?” Kau tertawa. “Jangan-jangan kau sudah puas pula buang kondom di Rooseburt?” Kau hanya menyengir. “Bawa majalah porno atau alat bantu seks?” “Datanglah ke rumahku.” Padahal aku hanya bercanda! Kalau Sri Bintang Pamungkas bersama kita,pasti ia akan menertawakanmu habishabisan, Kawan.

*** Aku turun di depan Bioskop Megaria dari Kopaja jurusan Senen-Kampung Rambutan. Menyeberang dan menyeberang lagi, berdiri dekat lampu merah di pertigaan ke arah Tugu Proklamasi di selatan. Aku menunggu bis ke arah Blok M.Di sebelah kiri berjongkok dan bersila anak-anak muda gondrong dengan ransel di punggung.Celana blue-jeanskotor, kaos, atau kemeja lengan panjang lusuh digulung, serta sandal jepit dan sepatu bot butut.

Melihat mereka bagaikan melihat diriku 19 atau 18 tahun lalu.Tapi, lukisan Agus Suwagedan Oji Lirungan di Galeri Cipta II tadi lebih menarik kuingat-ingat daripada melihat kekumalan mereka.Lebih baik aku membayangkan rencana menyusul. Bagaimanapun aku ingin berpameran di sana. Aku menyumpah-nyumpah karena bis itu belum juga terlihat. Sekali-sekali aku melihat ke arah kanan.Kalau bis itu datang, aku akan segera menaikinya.

Tak kupeduli sesak.Obrolan- obrolan anak-anak muda kumal itu sudah mulai menusuk- nusuk kepalaku. Aku pening seketika.Kelihatan sekali mereka berusaha atraktif. Bis datang. Aku bergegas naik, begitu pula tiga-empat orang anak muda kumal tadi, berjejal. Mulut mereka terus bicara. Di depan kantor lama PDI, mereka kembali mengulang kalimat yang sama, seperti ingin semua orang di dalam bis mendengarnya.

“Kita orang muda jangan terbuai gemerlap produk kapitalis yang serbamaterialistis. Juga budaya hedonisme kaum yuppies kota. Kita ini harus jadi kaum proletar. Marhaen. Kaum kiri yang anti-kemapanan.Kita harus jadi pemberontak,pendobrak, pembawa nilai-nilai baru.” “Dik,”tegurku. “Ya, apa, Mas?” Seorang dari mereka melihat ke arahku. Lagaknya benar-benar membuatku terkekeh-kekeh.Bocah tengik.Persis aku sepuluh atau sembilan tahun lalu. “Bicara proletar, Dik? Marhaen?” Aku menatap matanya. “Ya, proletar.” Dia menjawab semangat.“Saya proletar. Marhaen.” Aku tetap menatap matanya,“ Omong kosong.”

CHAIRIL GIBRAN RAMADHAN

Lahir di Pondok Pinang, Jakarta Selatan–yang sebagiannya “menjadi” Pondok Indah. Menyelesaikan pendidikan formal di IISIP Jakarta, Lenteng Agung; Cerpennya tampil di Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, The Jakarta Post, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Lisa, Nova, Swara Cantika, Kartini, Kartika, Annida,

Femina, serta antologi bersama untuk pasar internasional terbitan Yayasan Lontar: Menagerie 5 (ed. Laora Arkeman, 2003) dan I Am Woman”(ed. John H. McGlynn, 2011). Antologi tunggal pertamanya Sebelas Colen di Malam Lebaran (Masup Jakarta, 2008). Cerpennya tampil pula dalam antologi bersama: Ujung Laut Pulau Marwah (Temu Sastrawan Indonesia III, 2010) dan Si Murai dan Orang Gila (Dewan Kesenian Jakarta&KPG, 2010).  
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/430568/