Selasa, 11 Januari 2011

Silverius Oscar Unggul Demi Hutan

foto Silverus Oscar Unggul. TEMPO/Panca Syurkani

TEMPO Interaktif, Januari 2010, pada sebuah pertemuan penting World Economic Forum di New York, Amerika Serikat. Momen tersebut menjadi saksi penting seorang pemuda bernama Silverius Oscar Unggul, yang terpilih mewakili Indonesia untuk menghadiri ajang pertemuan internasional ini.

Di sana, ia berdebat panjang dengan seorang petinggi sebuah perusahaan asing seputar pemberdayaan sosial dan pelestarian hutan.

Menurut dia, pelestarian itu harus memenuhi tiga hal: sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Sedangkan menurut lawan debatnya, pelestarian hutan hanya dilihat dari aspek sosial dan ekonomi. "Puji syukur aku selalu memiliki kesempatan emas dipercaya menghadiri acara seperti ini," kata pria yang biasa disapa Onte itu.

Ditemui di Jakarta, Senin pekan lalu, Onte dengan sikap rendah hati menuturkan kiprahnya di bidang pelestarian hutan dan lingkungan hidup, juga tentang kehidupannya. Dia menjelaskan, nama Onte merupakan singkatan dari "orang entete" (maksudnya NTT atau Nusa Tenggara Timur, daerah asal papanya). "Rada unik, tapi beginilah jalan hidupku, serba unik. Ya, pergaulan, pendidikan, karier, semuanya," ucapnya sambil tergelak.

"Aku ini seorang pemuda desa terpencil yang sejak kecil sangat mencintai alam sekitar. Bagiku, alam memiliki sumber energi penting buat keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan sekitar," tuturnya. Sejak remaja, Onte sudah memikul peran sederhana sebagai pemuda desa yang mencintai dan menggemari alam. Ia punya hobi naik-turun gunung, yang berlangsung hingga masa kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari.

Hobi ini membuka mata hatinya saat menemui kenyataan pahit. Alam, yang seharusnya lestari, rusak parah karena penggundulan hutan. "Dari situ aku terpanggil untuk berbuat sesuatu."

Berangkat dari keprihatinan itu, pada 1998, setelah merampungkan kuliah, ia mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Cinta Alam (Yascita). Sebagai langkah awal, ia mulai melakukan investigasi terhadap kerusakan lingkungan hutan akibat pembalakan liar. Bermula dari aktif melakukan kampanye dan advokasi, toh tak membendung niat para pelaku pembalakan liar. Akhirnya ia menggalang masyarakat membentuk community logging.

"Memang bukan tugas mudah, berhadapan dengan masyarakat yang sudah terbuai asyik sebagai pembalak. Bahkan di antara mereka terjadi konflik horizontal dan harus menghadapi para tengkulak serta cukong. Tapi di sinilah tantangannya."

Penyuka olahraga basket ini menemukan fakta bahwa pembalakan hutan liar yang terjadi di tanah kelahirannya, Kendari, Sulawesi Tenggara, sangat tinggi. Salah satu contohnya, sebuah perusahaan hak pengusahaan hutan yang beroperasi di kawasan Konawe Selatan disinyalir turut andil dalam merusak hutan di kawasan tersebut. "Kami di Yascita melakukan investigasi total. Karena tidak ada respons dari media, kami pun berubah haluan mendirikan Radio Swara Alam."

Radio itu digunakan untuk melakukan advokasi kepada masyarakat tentang pembalakan besar-besaran di hutan Sulawesi Tenggara. Radio ini kini menjadi radio terbesar di Sulawesi Tenggara. Padahal sebelumnya mereka hanya memiliki sarana dan perlengkapan seadanya. Radionya sering dikatakan radio kandang ayam, karena ruang siarannya kecil seperti kandang ayam, dengan frekuensi yang sering menghilang bila dilanda angin keras.
Tak puas dengan radio, ia kemudian mendirikan stasiun televisi dengan hanya bermodal beberapa kamera. Itu agar jangkauan kampanye isu-isu lingkungan hidup, terutama soal pembalakan liar, bisa semakin luas.

Onte menyimpulkan, kampanye dan advokasi rupanya tidak cukup. Dalam kasus pembalakan liar, sering kali korbannya rakyat kecil--yang ditangkapi. Pembalakan liar merupakan sebuah tindak kriminal terhadap hutan. "Di dalamnya selalu terselip korupsi, pemerintahan yang lemah, kekerasan, konflik, kehilangan pendapatan, pemiskinan masyarakat hutan, dan tentu saja harga diri bangsa," ia menjelaskan.

Nah, melalui community logging bentukannya, Onte berhasil menyatukan masyarakat yang semula terpecah belah dengan cukongnya terhimpun menjadi satu melalui wadah Koperasi Hutan Jaya Lestari Indonesia (KHJLI). Di sini ia mengajak mengelola hutan jati dengan cara lestari yang diatur melalui koperasi.

Proses ini tidak mudah, karena butuh waktu yang panjang dan ada kendalanya. Namun, setelah masyarakat percaya dan menekuni sesuai prosedur, program itu membuahkan hasil. Sisi positifnya, program ini mengajak masyarakat menanam dan mengelola sendiri pohonnya, tidak lagi ikut andil dalam perusakan hutan. "Dan mereka menjalankan program tanam ulang 10 benih pohon baru untuk setiap pohon yang ditebang."

Nah, yang terpenting dari semua itu, kayu atau pohon yang mereka tanam memiliki sertifikat eco labeling, yang menjadi standar internasional pada pemenuhan kayu bagi furnitur tingkat dunia.

Melalui sepak terjang tersebut, ayah tiga anak ini pun dipercaya menjadi narasumber untuk pelestarian hutan dan lingkungan hidup. Di bidang ini, ia sering diundang menghadiri pertemuan internasional. Bahkan sejak tahun lalu, berkat kesuksesannya menerapkan program KHJLI, ia diminta menerapkan program serupa untuk beberapa hutan di Banyumas, Kulon Progo, Papua Barat, Jawa Barat, dan Kalimantan. "Aku percaya Tuhan selalu memberikan sesuatu sesuai dengan yang kita tanam," kata pria pemilik tato di lengan kanan itu.

Sulung dari empat bersaudara ini yakin akan nasihat ayahnya, bahwa alam selalu mengolah sesuatu sesuai dengan perlakuan kita. "Ayahku bilang, 'Kalau kita menyayangi alam dengan sebaik-baiknya, hasil yang kita peroleh sama.' Dan semua sudah aku buktikan." |

HADRIANI P

Nama: Silverius Oscar Unggul
Lahir: Kendari, Sulawesi Tenggara, 20 Juni 1971
Status: Menikah dengan Sri Mulyati dan punya tiga putra

Pendidikan:
- S-1 Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara (1989-1998)
- Mahasiswa Magister Management Corporate Social Responsibility Universitas Trisakti, Jakarta (2009-sekarang)


Karier:
- Direktur Eksekutif JAUH (2009-2014)
- Wakil Presiden Telapak (2007-2012)
- Salah satu pendiri Asosiasi of People's Television Stations in Indonesia - ASTEKI (2007)
Pendiri PT Proros Nusantara dan PT Bahtera LEStari (2003)
- Ketua Yascita; Presiden Direktur Radio Swara Alam; Presiden Direktur Swara Alam Kendari Televisi (1999-sekarang)
- Aktif sebagai narasumber serta peserta seminar dan konferensi tentang lingkungan hidup serta pelestarian hutan di mancanegara (2000-sekarang)
- Mewakili Indonesia hadir dalam pertemuan International World Economic Forum di Davos, Swiss (Januari 2010)

Penghargaan:
- Conde Nast Traveler Environmental Award, New York, Amerika Serikat (2008)
- Social Entrepreneur of The Year 2008 Ernst and Young (2008)
- Young Global Leader (2009)

Sumber:

Senin, 10 Januari 2011

Siapa Paling Berharga dalam Hidupmu

Menjelang istirahat di sebuah kursus pelatiahan, sang Motivator mengajak para peserta untuk melakukan suatu permainan. " Siapakah orang yang paling penting dalam kehidupan Anda ? ", tanyanya., lalu Motivator itu menunjuk salah seorang wanita cantik bernama Nisa.

Nisa diminta maju menuliskan 20 nama orang yang paling berharga dalam kehidupannya. Nisapun kemudian menuliskan 20 nama di papan tulis, ada nama tetangga, teman belajar, saudara, orang tua dan orang-orang tercinta lainnya.

Kemudian sang motivator meminta mencoret satu nama yang dianggap kurang penting, nisa mencoret nama tetangganya, lalu motivator itu menyilahkan mencoret satu nama lagi yang kurang penting, sekarang Nisa mencoret nama teman belajarnya.

Begitu seterusnya sampai pada akhirnya di papan tulis tersisa 5 nama yaitu Ayahnya, Ibunya, kakeknya, neneknya dan nama suaminya. Suasana kelas mendadak sunyi, semua peserta pelatihan memusatkan perhatian kepada sang Motivator, menebak-nebak intruksi selanjutnya dari sang motivator itu. Di tengah keheningan sang motivator berkata " coret dua nama lagi ! ", dengan tangan gemetar Nisa dan gelisah diangkatnya spidol kemudian mencoret nama Ayah dan Ibunya.

Seketika itu pun pecah isak tangis di kelas demikian juga Nisa yang mengeluarkan buliran air mata membasahi pipinya seolah mengingat sesuatu yang cukup menyakitkan, kemudian dia coret juga nama kakek neneknya dan hanya tertinggal nama suaminya, lalu dia bergegas kembali ke tempat duduk karena tidak mampu menahan tangis.

Setelah suasana sedikit tenang, sang motivator itu lalu bertanya : " orang yang berharga dalam hidup Anda bukan kedua orang tua Anda ? orang tua yang melahirkan dan membesarkan Anda, kakek nenek yang mengasihi dan menyayangi Anda, sedangkan suami masih bisa dicari lagi apalagi Anda masih cukup muda. Mengapa Anda memilh sosok suami sebagai orang yang paling berharga ? boleh Anda maju lagi menjelaskannya ! ".

Semua mata tertuju kepada Nisa, wanita cantik yang sekarang berada di depan kelas, sambil terisak Nisa bercerita : " semenjak aku kecil sampai aku dewasa tidak pernah aku rasakan ciuman cinta dari papa dan mamaku, yang aku terima dari mama hanyalah cacian dan kata-kata yang menyakitkan, kamu bego, kamu bodoh, tolol dan lain-lain, dan ketika aku masih usia SD sebuah putung rokok papa mendarat di pahaku serta kekerasan fisik lain yang susah aku lupakan sampai sekarang, bersyukur aku punya kakek nenek yang sangat menyayangiku sebagai tumpuhan segala penderitaanku, namun sayang kakek meninggal sejak aku masih kecil sedangkan nenek tinggal cukup jauh dari rumahku ", mendadak suasana kelas semakin gaduh dengan isak tangis demikian juga air mata Nisa yang semakin deras berjatuhan.

Setelah suasana tangis di kelas mereda, sang motivator kembali bertanya : " lalu ada apa dengan suami Anda begitu berharga dalam hidup Anda ? ", Nisa tiba-tiba tersenyum, : " ketika hidupku diambang jurang kehancuran dan nista, dia hadir memenuhi relung-relung jiwaku yang sudah sekian lama hampa, dia membimbingku dan menunjukkan jalan yang lurus, dia membangkitkan semangat belajarku yang telah punah dan mengantarku meraih gelar sarjana, dia memotivasi aku dan memberikan kepadaku Visi Hidup menuju sukses di masa depan, Aku bersyukur bertemu dengan suami yang sangat perhatian dan selalu memahami problematikan hidupku, sehingga aku tidak lagi mendendam dengan kedua orang tuaku ".

Thank You Allah,

I Love You my husband forever

Mama, Papa, I am Sorry if I must far your life.

for You All, I am not as your thoughts

Sahabat, melahirkan anak atau Generasi yang Shaleh dan Sahalehah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan kita, karena betapa gelombang kemaksiatan sangat besar dan akan menghantam setiap kita, hanya dengan melibatkan Tangan Allah disetiap aktifitas pendidikan dan pembinaan terhadap anak dan generasi kita yang akan mampu mencetak Generasi yang unggul , Shaleh dan Shalehah sebagaimana yang kita semua harapkan

Bersama RYI, kita bantu bangun Generasi yang Shaleh dan Shalehah dari kalangan Yatim dan Dhu’afa, http://www.facebook.com/l/cd7060q_Y9LJZrVn0rrPcDUggPw;www.rumah-yatim-indonesia.org/

Minggu, 09 Januari 2011

"I cried for my brother six times"

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu
itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya! "
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air
mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.

Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun
itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air
mata ber- cucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? "Aku merasa terenyuh, dan air
mata memenuhi mataku.

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit.Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat
itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"

Mata suamiku dipenuhi air
mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.

Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.Kata- kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air
mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"
(Dari email seorang teman ; Pic taken from flickr)

Sabtu, 08 Januari 2011

Bola Karet Vs Bola Kaca



BRIAN DYSON, mantan eksekutif Coca Cola, pernah menyampaikan pidato yang sangat menarik, "Bayangkan hidup itu seperti pemain akrobat dengan lima bola di udara.
Anda bisa menamai bola itu dengan sebutan :
<-1 Pekerjaan <-2 Keluarga <-3 Kesehatan <-4 Sahabat <-5 Semangat Anda semuanya harus menjaga semua bola itu tetap di udara dan jangan sampai ada yang terjatuh.

Suatu saat, ketika situasi mengharuskan Anda melepaskan salah satu diantara lima bola tsb, maka lepaskanlah Pekerjaan karena pekerjaan adalah BOLA KARET.
Pada saat Anda menjatuhkannya, suatu saat ia akan melambung kembali, namun 4 bola lain seperti: Keluarga, Kesehatan, Sahabat dan Semangat adalah BOLA KACA.
Jika Anda menjatuhkannya, akibatnya bisa sangat fatal !

Brian Dyson mencoba mengajak kita hidup secara seimbang.

Pada kenyataannya, kita terlalu menjaga Pekerjaan adalah bola karet, bahkan kita mengorbankan Keluarga, Kesehatan, Sahabat dan Semangat demi menyelamatkan bola karet tsb.

Demi uang atau pekerjaan, kita mengabaikan keluarga.
Demi meraih sukses dalam pekerjaan, kita jadi workaholic dan tidak memperhatikan Kesehatan.
Bahkan demi uang atau pekerjaan, kita rela menghancurkan hubungan dengan Sahabat yang telah kita bangun bertahun tahun lamanya.

Ingatlah, kalaupun kita kehilangan uang masih bisa kita cari lagi, tapi jika Keluarga sudah terjual, kemana kita membelinya lagi ?
Uang hilang masih bisa dicari, tapi apa kita bisa membeli Sahabat ?
Uang hilang masih bisa dicari, tapi apakah kita bisa memulihkan Kesehatan kita secara normal jika kita terkena penyakit kritis ?

Jagalah prioritas hidup Anda tetap seimbang!