Senin, 14 Juni 2010

AYAH, MAAFKAN DITA

Sepasang suami istri, seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anaknya di rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerapkali dibiarkan pembantunya bermain karena sibuk di dapur. Bermainlah ia bersama ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari ia melihat sepotong paku karat. Dan kemudian iapun mencoretkan paku itu ke lantai dimana ayahnya memarkir mobil, tetapi karena lantai itu terbuat dari marmer maka coretan itu tidak nampak jelas. Dicobanya lagi coretan di mobil baru ayahnya. Ya.... karena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya nampak jelas. Apalagi anak inipun semakin membuat coretan sesuai dengan kreatifitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh pembantu rumah.

Sore hari saat kedua orangtuanya pulang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si ayah yang belum sempat masuk ke dalam rumah itupun terus berteriak, ”Kerjaan siapa ini? Pembantu rumah yang tersentak dengan teriakan itu berlari keluar rumah.. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan, lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi si bapak mengajukan pertanyaan keras kepadanya, diapun terus menjawab ”Saya tidak tahu ... tuan...”. Kamu sepanjang hari di rumah, apa saja yang kau lakukan?, hardik sang istri lagi.

Mendengar suara ayahnya, Si anak yang sedang berada di dalam kamar lalu keluar. Dengan penuh manja seorang anak, diapun berkata ”Dita yang membuat gambar itu ayah..... cantik ... kan! katanya sambil sambil memeluk ayah dan bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah mulai hilang kesabaran kemudian mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya., terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tidak mengerti apa2 lalu menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Belum puas memukul telapak tangan anaknya, si ayahpun memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan kepada anaknya itu. Pembantu rumah tangga terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. Si ayah cukup lama memukuli tangan kanan anaknya dan kemudian ganti tangan sebelah kiri. Setelah merasa puas, kemudian si ayah masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh si istri, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu dan membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat tangan anak kecil itu luka2 dan berdarah. Pembantu rumah itu lalu memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramkan air, iapun ikut menangis karena merasa iba. Anak kecil itu menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanyan itu terkena air. Lalu si pembantu rumah itu menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan si anak kecil itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokan harinya, kedua tangan anak kecil itu terlihat bengkak. Pembantu rumah mengadu kepada majikannya. ”Oleskan obat saja” jawab si ayah.



Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktunya di kamar pembantu. Si ayah konon ingin memberikan pelajaran kepada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk si anak, sementara si ibu juga demikian, meski setiap hari ia bertanya kepada pembantu rumah. Dita demam, Bu” jawab si pembantu rumah singkat. ”Berikan panadol saja” timpal si ibu. Sebelum si ibu masuk ke rumah, dia pun menyempatkan menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihatnya anaknya Dita dalam pelukan si pembantu iapun kembali menutup pintu kamar pembantu dan masuk ke kamar tidurnya.
Masu hari ke empat, pembantu rumah memberitahu kepada tuannya bahwa suhu badan Dita sangat panas. ”Sore nanti kita bawa ke klinik.... pukul 5 sore sudah siap” kata majikannya. Sampai saatnya si anak dalam kondisi anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah sangat serius.

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kemudian dokter memangggil kedua orang tua si anak kecil itu. ”Tidak ada pilihan lain ...” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah sangat parah dan infeksi akut. ”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan si anak, maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan si ibu bagaikan terkena halilintar mendengarkan kata2 dokter itu. Terasa dunia seperti berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung-raung sambil merangkul si anak. Dengan berat hati dan klelehan air mata istrinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anakpun menangis karena kesakitan. Diapun heran kedua tangannya dibalut dengan kasa putih. Ditatapnya wajah ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. ”Ayah..ibu ... Dita tidak akan melakukannya lagi .... Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi .... Dita sayang ayah .... Dita sayang ibu” katanya berulang kali membuat si ibu tak kuasa menahan sedihnya. ”Dita pun sayang sama mbok Narti ...” katanya pula sambil memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat pembantu rumah itupun meraung histeris.

”Ayah kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil .... Dita janji tidak akan mengulangi lagi ! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti? ... Bagaimana Dita mau main nanti? ..... Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi... katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangannya dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya mesti harus dipotong meskipun ia sudah meminta maaf.

Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yang tak bertepi. Namun si anak, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar dan bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

Sumber dr Email teman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar