Jumat sore 7 September 2007, mendung dan berangin di Sorowako. Perenungan menunggu azan Isya sedikit terganggu oleh dering HP, rupanya dari karib lama : Moyardi Kasim. Saya yakin, dia pasti menelpon dari ruang kantornya yang apik di lantai 2 showroom Mitsubishi jalan Veteran 14 Padang. Pasti sendirian, karena karyawan sesorean biasanya sudah pada pulang.
”Lu dimana” ?, selalu demikian pertanyaan awal kawan ini, karena dia sudah memastikan saya tidak sedang berada di Padang. “di Sorowako, mencarikan belanja lebaran”, jawab saya. Selanjutnya, “ah, lu pergi-pergi aja (dalam bahasa Jakarte logat Minang Pariaman yang kental)” dan komunikasi kami diputus seketika. Biasanya, kalau tak telpon langsung, Molyardi selalu berkirim SMS, isinya ringan2 dan bahkan ngelantur kemana-mana.
Rupanya itulah komunikasi terakhir saya dengannya, setelah seminggu sebelumnya kami menjalani ritual rutin ba’da magrib dikantornya, yakni makan nasi bungkus gulai hati Restoran Selamat ditambah gorengan belut kering lado merah dari restoran Semalam Suntuk. Waktu itu ikut makan karib yang lain pengusaha pengembang Johny Halim (TI 76) dan Arsitek Rudy Ferial (AR 78) . Ritual rutin interaksi kami yang berlangsung bertahun-tahun, mengingat kesibukannya yang tak mungkin diganggu dalam jam kerja mengendalikan Grup Suka Fajar yang makin menyita perhatiannya. Waktu itu dan sampai saat akhir, tak ada sedikitpun sinyal tentang kepergiannya. Kami tetap bercanda dan saling ledek tentang banyak hal. Biasalah.
Rupanya tradisi kerja keras harian sampai sekitar jam 10 malam itulah yang membawanya kehadapan Sang Maha Pencipta. “Cara pulang menghadap-Nya” memang misteri Tuhan, dan selalu yang terbaik untuk Hamba-Nya. Gempa 7,9 Skala Richter,yang mengguncang kota Padang Rabu sore jam 16.10 minggu lalu itu, telah melantak-luluhkan bangunan utama Grup Suka Fajar berlantai empat. Saat mana Moyardi sedang akan mulai menjalani ritual rutinnya bekerja sampai malam. Seperti biasanya.
Menurut Johny Halim yang memimpin evakuasi malam itu, setelah mengantar tamunya keluar bangunan, ia kembali ke ruang kerjanya untuk segera berwudhuk dan ingin mengejar shalat Asyar yang belum tertunaikan. Subhanallah, melihat kondisi jasadnya ketika ditemukan esok siang : ia tengah di atas sajadah dalam posisi bersujud. Tim SAR yakin bahwa ia tengah shalat saat gempa datang. Moyardi pergi dalam sujud menghadap-Nya. Bersujud dihimpit reruntuhan bangunan, tempat ia syahid mencari nafkah keluarga dan ratusan karyawan yang menggantungkan nafkah bersamanya.
Itulah, ratusan handai taulan mengantarnya ke pekuburan umum Tunggua Hitam, sore kamis yang merupakan ”puaso tuo” bagi komunitas Minang.
****
Ingatan melayang pada 34 tahun lalu, saat SMA I Padang menerima adik kelas yang baru, dimana seorang anak muda cenderung mungil berkacamata berat ikut didalamnya. Belakangan ketahuan, ia anak pintar, juara umum dari SMP I dan anak pengusaha terkenal kota Padang, H. Sutan Kasim. Saya sudah agak kenal sebelumnya, karena kami sama-sama dibesarkan di pasar Raya Kampuang Jao. Juga demikian kawan-kawan segenerasi yang lain. Moyardi membantu orangtuanya berjualan kulit skala grosir, sedang saya membantu Ayah berjualan grosir pecah belah. Ada Reza Abidin (MS 76) membantu orangtuanya berjualan grosir kain, Zahedi Putra (TK 75) berjualan rupa-rupa, Chairinal Chaidir (SI 75) berjualan alat elektronik, Asrul Basari (GM 77) ikut mengurus grosir tekstil bersama kakak2nya di Pasar Bertingkat dan Badrul Mustafa (GM 76) mengendalikan kedai kontrakannya.
Kami merupakan produk entrepreneur pasar raya, yang sangat kami rasakan manfaatnya setelah merantau ke Bandung dan kini bekerja di berbagai bidang kehidupan. Hubungan kami sebagai ”anak pasa” langgeng sampai sekarang. Kerap kami kumpul-kumpul dan melakukan perjalanan bersama. Bila kumpul di Padang, nasi bungkus Restoran Selamat dan Semalam Suntuk menjadi makanan enak khusus menyemarakkan nostalgia.
Moyardi memang cerdas dan unggul dalam berbahasa Inggris karena ikut les inggris sejak kecil di privat bahasa IES. Makanya, saat beberapa diantara kami ikut bimbingan test dulu setahun untuk masuk ITB, ia langsung lulus. Jadinya kami seangkatan, sama-sama diterima tahun 76. Juga sama-sama lulus tahun 85, artinya sama-sama menghabiskan pendidikan S1 cukup lama, yakni 9 tahun !.
Namun medan kiprah kampus kami berbeda, ia dan Johny Halim menekuni bisnis sampai meninggalkan kuliah bertahun-tahun, saya menjalani kehidupan sebagai aktifis mahasiswa. Saat ia berkutat mengembangkan pembuatan KTP Massal bermesin laminating di kabupaten Subang dan Garut , saya menjadi aktifis Dewan Mahasiswa ITB yang menggerakkan berbagai demonstrasi mahasiswa dari berbagai kampus se Jawa. Mesin Pres KTP ciptaan mereka bersama Alex Yudhi (MS 75) tampil dengan merk lamilex, namun setelah pecah kongsi Johny mengembangkan produk lamiko. Saya ingat betul, untuk urusan KTP massal mereka mengajak tukang foto dari alun-alun bekerjasama.
Maret 1985, kami sama-sama pulang ke Padang. Saya bersama beberapa kawan lain mengejar mimpi ideologis dengan berusaha mengembangkan kembali sekolah alternatif INS Kayutanam, Moyardi mulai menekuni usaha meningkatkan kinerja perusahaan keluarga. Ia mulai bekerja mengembangkan sistem manajerial Grup Suka Fajar dan tak pernah berhenti memikirkannya sampai akhir hayat. Kerja kerasnya membuahkan ekspansi perusahaannya ke belasan titik operasi strategis di berbagai propinsi di Sumatera. Grup ini bahkan berani masuk kota Medan yang dikenal dengan sengitnya persaingan bisnis. Menjelang krisis moneter, mereka bahkan membuka core bisnis baru, membangun Hotel Ibis di kota Pekanbaru yang diperkirakan akan menjadi kota bisnis. Tahun tahun terakhir, sebagian besar waktu Moyardi adalah bolak-balik Jakarta dan Pekanbaru.
Menarik disimak, saat krisis moneter, grup ini malah makin berkembang. Nampaknya, silaturrahmi Moyardi kakak beradik cukup ampuh untuk membuat grup bertahan ditengah badai krisis moneter yang datang melanda. Saat perusahaan lain mem-PHK karyawan, Grup Suka Fajar malah merekrut pegawai untuk mendukung ekspansi. Grafik pemasaran malah meningkat. Kini Grup Suka Fajar telah berkembang menjadi usaha konglomerat pribumi yang tak tersaingi di Sumatera Barat.
Moyardi mantap terjun ke usaha keluarga saat kepulangan ke kampung. Tahun 1988 Johny Halim juga menyusul pulang dan mendirikan pengembang Grup Taruko. Kami sering bersilaturrahmi sampai bertahun-tahun sesudahnya. Namun sejak gempa 12 September 2007 sore, seorang kawan sudah berkurang. Moyardi duluan pergi menjalani ketentuan-Nya, menghadap mahkamah abadi sesuai amal ibadahnya.
Yang jarang diketahui publik, adalah semangat Moyardi mendukung berbagai aktifitas sosial yang saya kerjakan. Saat mendirikan Yayasan Insan 17 di Padang, Moyardi menjadi Direktur Keuangan dan diam-diam memfasilitasi kami dalam kondisi kesulitan finasial diawal pendirian lembaga. Waktu membantu pengembangan usaha kerajinan beberapa sentra di Sumbar, di gedung BI Sudirman, Ekonom Sritua Arief pernah bercanda dan kagum kok kapitalis bisa hadir dalam ruqang bernuansa sosialis. Moyardi hanya tersenyum simpul. Begitupun banyak sekali aktifitas LSM Insan 17 di pelosok Sumbar dalam mengatasi persoalan kemiskinan, Moyardi dari balik layar banyak memberikan pandangan dan tak lupa sokongan keuangan bila diperlukan. Hingga tahun 1992, kami bahu membahu mengurus LSM, sampai saya harus pindah ke Jakarta mengurus jaringan nasional LSM Lingkungan Hidup - Walhi. Komunikasi memang jarang karena masing-masing sibuk dengan urusannya, namun Moyardi dan kawan-kawan rupanya menyimpan agenda khusus untuk saya.
****
Silaturrahmi kami membuhul makin erat saat saya menjadi saksi mata langsung perkawinannya dengan Arni, alumni ITB - BI 77 yang sudah lebih dulu pulang ke Padang dan kelak menjadi Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Pasangan Moyardi dan Arni telah dikaruniai 2 pasang anak yang kini telah remaja. Ivan mengikuti jejak papinya mengambil kuliah di jurusan Tehnik Industri Unand, Vina, Avin di tingkat SMA dan Vani masih di SMP. Kakak beradik nampaknya diprogram betul, masing-masing berjarak umur selang seling 2 tahun.
Itulah, karena keasyikan menjadi aktifis dan sering bepergian keluar negeri, saya lupa kawin. Ini meresahkan keluarga dan juga kawan-kawan. Tak lupa tentunya Moyardi. Saat jeda dan pulang berlebaran ke Padang, mereka mengatur pertemuan saya dengan seorang gadis bermarga harahap, yang kebetulan murid Dr. Badrul Mustafa (Kini WR III Unand) di Fakultas tehnik Sipil. Saat kunjungan lebaran, tiba-tiba mobil dibelokkan ke sebuah rumah yang asri di kawasan Linggarjati. Katanya ke rumah salah seorang mahasiswi Unand. Rupanya saya dikenalkan dan akhirnya mantan mahasiswi itu menjadi istri saya. Pesta kawin beberapa bulan sesudahnya, sebagian didanai oleh Moyardi secara diam-diam.
Maret 2003, dengan membawa sertifikat rumah dan BPKB mobil saya mendatanginya di kantornya. Mau pinjam uang tunai, untuk biaya pengobatan anak ketiga kami, Kembara, yang mendapat serangan penyakit kanker darah, lukemia limfositik akut. Sangat saya ingat kemarahan Moyardi dan akan membuang surat berharga itu, karena katanya persahabatan tidak bisa diukur dengan sekedar urusan pinjam uang. Saya disuruh segera berangkat ke Jakarta dan besok pagi rekening saya sudah terisi. Kalau tak salah dia mengirim dukungan sampai tiga kali.
Demikian seterusnya, karena tetap menjalani kehidupan sebagai aktifis yang tak jelas penghasilannya, kapanpun kalau saya perlu uang, Moyardi tak pernah tinggal diam. Moyardi seakan ATM saya dalam menjalani kehidupan aktifis. Mungkin karena cukup terbuka rezekinya, tak pernah sekalipun uangnya yang saya pakai ditanyakan, apalagi ditagihnya. Setiap mau lebaran, selalu ada paket kiriman beberapa ikat uang pecahan seribu rupiah dan 2 ikat uang pecahan lima ribu. Katanya untuk persiapan lebaran. Lebaran mendatang dan selanjutnya, tentu fenomena itu tidak mungkin terulang lagi. Moyardi sudah tak ada, ia kini diseberang sana.
*****
Sedemikian erat interaksi kami, sehingga waktu menulis obituari ini, saya perlu mengunjungi Johny Halim untuk menanyakan apa sebetulnya kelemahan dari Almarhum. Refleksi kami, mungkin karena lama mengambil setiap keputusan, atau katakanlah berhati-hati, sehingga gaya manajerial dia terkesan lamban. Tapi kami juga sepakat, mungkin karena hati-hati itulah ia berhasil dalam mengendalikan perusahaan yang makin membesar. Dapat dikatakan kelemahan sekaligus kelebihannya. Bung Johny yang cepat mengambil keputusan, sampai sekarang ekonominya masih tambal sulam, masih fase gogo, belum menuju mapan. Moyardi sudah jauh lebih dulu.
Namun apapun, ada agenda yang masih tersisa. Kami bersepakat untuk mempercepat laju perhatian masyarakat ke usaha kelautan. Bersama kami mencoba merubah desain kapal tonda menjadi mini long-line agar bisa menangkap tuna bernilai tinggi untuk meningkatkan harkat hidup nelayan. Selain itu berniat pula kami untuk mendirikan BPR sebagai lembaga keuangan mendukung pertanian, khususnya padi organik. Agenda ini wajib diteruskan karena merupakan hasil diskusi kami berkepanjangan, tentang bagaimana tetap berkiprah membangun kampung halaman. Tentu tak lagi tanpa kehadiran fikiran-fikiran matang pengusaha Moyardi. Duh, entahlah.
Hanya yang mengganjal, sampai akhir hayatnya Moyardi tidak sempat menunaikan ibadah haji. Setiap diajuk, dia selalu mengatakan akan segera mendaftar. Tapi nyatanya tak pernah sempat, tersebab banyak sekali urusannya di bisnisnya. Tentu bebannya jatuh ke bahu Ivan sebagai putra tertua, untuk menemani maminya beribadah ke Baitullah.
Selamat jalan kawan, semoga kau mendapat tempat yang layak disisi-Nya. Suatu saat kami semua pasti menyusulmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar