Sekitar dua tahun lalu, Kompas mengulas
tentang profil seorang petani tua sekaligus mantan penyuluh pertanian
dari tanah Mandar. yang sukses mengembangkan kakao dengan teknik sambung
samping, dan hasilnya bisa membuat orang yang melihatnya berdecak
kagum.
Sekitar dua bulan lalu, selepas acara
Kompasiana Nangkring di Makassar, saya berkesempatan mengunjungi Pak
Haji Malik, Sang guru kakao yang tinggal di Mamuju. Senin siang selepas
menyelesaikan seluruh kegiatan saya di Ibukota Kabupaten Mamuju, saya
bersama seorang teman dan dipandu salah seorang putra haji Malik, kami
berkendara menyusuri jalan trans sulawesi sejauh 30 kilometer kearah
utara. Kami sampai di Rumah haji Malik tepat tengah hari, tetapi
sayangnya Haji Malik Sedang berada di kebun yang katanya hanya berjarak 2
km saja dari rumahnya.
Pikir saya jarak segitu tidak terlalu jauh,
tetapi ternyata sepanjang jalan saya mengumpat “wah kalau ini mah 2 km
nya dalam ukuran para raksasa” saking jauhnya. ketika berbelok dari
jalan trans Sulawesi, kami memasuki kawasan perkebunan yang sunyi, mirip
hutan, saya langsung berpikir, kok Haji Malik berani ya ke kebun yang
sepi begini.
Wajah saya yang jutek karena panik melewati
kebun yang sepi, serta jalanan yang berbatu dan naik turun langsung
menguap ketika memasuki batas kebun milik Haji Malik. begitu memasuki
‘pintu utama’kebun, saya dihadapkan pada pohon kakao yan sarat buah,
mengkilat dan ranum. Seorang lelaki tua kemudian keluar dari pondok dan
menyambut kami dengan keramahannya dan menerima kami berbincang-bincang
di kolong rumah panggung yang sekaligus berfungsi sebagai ‘kelas’ bagi
siapa saja yang ingin belajar tentang kakao.
Dengan panjang lebar Haji Malik menceritakan
sepak terjangnya sebagai penyuluh, sebagai petani dan tak lupa beliau
juga menunjukkan tulisan tentang dirinya di koran Kompas yang dicopy dan
dicetak di spanduk fiber yang terpajang di kolong rumah panggung.
Saking semangatnya, tanpa saya minta Haji
Malik mengajak saya berkeliling kebun kakaonya, yang hampir semuanya
sudah diremajakan dengan teknik sambung samping, dan saat ini Haji malik
juga sedang mempersiapkan bahan tanam yang akan dijadikan sebagai bahan
teknik sambung pucuk.
ketika saya berkeliling kebun, ternyata jauh
didalam kebun terdapat sekelompok mahasiswa yang sudah hampir dua bulan
tinggal bersama Haji Malik untuk menimba ilmu tentang budidaya kakao.
Dengan senang hati pula Haji Malik mengarahkan mahasiswa tersebut untuk
bekerja sesuai prosedur.
Dalam kebun Haji Malik terdapat berbagai
macam Klon Kakao, ada dari Medan, Filipina, Puslit Kopi Kakao dan Klon
R1 dan R2 hasil sambung samping Haji malik Sendiri. Memang banyak
perbedaannya, hasil sambung samping dari Haji Malik dengan kakao dari
Puslit Kopi Kakao, saya menduga, kakao yang bagus ditanam di jawa, belum
tentu cocok dengan iklim di Sulawesi Barat, begitu pula sebaliknya.
Haji Malik tidak hanya fokus padda kakao,
didalam kebunnya juga terdapat kambing kambing yang diberi makan daun
lamtoro yang tumbuh sebagai penaung tanaman kakao dan kotorannya
dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman kakao.
Tanpa sengaja, saya nyeletuk mengapa Haji
Malik di masa tuanya masih mau bersusah-susah hidup di kebun sepi
seperti itu, padahal dari hasil pensiun dan hasil kebun seandainya
didelegasikan pengelolaannya pada orang lain pasti lebih dari cukup
untuk menopang hidup. ternyata, prinsip seorang penyuluh yang tidak
hanya omong doang benar-benar dipegang. Jangan sampai sebagai seorang
yang mengajari orang lain, tidak bisa memberi contoh nyata.. hem..
prinsip sederhana yang mengena.
Tepat sore hari saya mohon diri pada Haji
Malik untuk kembali ke Makassar, dengan berat hati saya meninggalkan
kebun itu, karena masih banyak hal yang ingin saya pelahjari, tapi
apalah daya, saya harus mengejar bis tujuan Makassar dan kembali bekerja
lagi keesokan harinya.